Saturday, September 30, 2017

SAAT-SAAT TERJADINYA PERISTIWA G30S/PKI



Pada saat terjadinya peristiwa G30s/PKI tanggal 30 September 1965 aku sudah berusia 21 tahun. Menjadi mahasiswa dan malam hari bekerja sebagai korektor di suratkabar harian Pelopor di  Percetakan Daya Upaya ( lokasi hotel Jayakarta sekarang). Dan siang hari kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jalan Borobudur Jakarta.
Tetapi perkuliahan di semua perguruan tinggi pada September itu sudah beberapa bulan tidak teratur dengan semakin maraknya deminstrasi-demonstrasi mahasiswa yang berbasis di kampus-kampus. Kelompok mahasiswa dari organisasi berlatar belakang agama dan nasionalis berhadapan dengan kelompok mahasiswa yang berhaluan Komunis. Tidak jarang terjadi bentrokan fisik sejalan dengan situasi politik yang kian memanas saat itu. Beberapa universitas malh telah menghentikan samasekali kegiatannya.
Dan pada tanggal 30 September itu  aku hanya berbaring di gubukku yang sempit di kawasan kampung Duri Grogol karena sakit. Tidak dapat ke kampus dan juga tidak masuk kerja.
Seperti biasa, aku menyetel radio. Dan tiba-tiba pada siaran warta berita RRI jam 07 pagi terdengar pengumuman dari suatu kelompok militer yang dipimpin Letkol  Untung Komandan Kesatuan Pengawal Presiden Tjakrabirawa. Dia mengumumkan telah dilakukannya gerakan pada tanggal 30 September malam untuk mencegah terjadinya pengambilalihan kekuasaan oleh “Dewan Jendral” dari  pemerintahan yang sah. Disamping itu untuk  memberi perlindungan kepada Presiden/ Pemimpin Besar Revolusi. Bung Karno.
Beberapa jam kemudian menyusul siaran dari gerakan itu yang mengumumkan pembentukan “Dewan Revolusi” yang dketuai Letkol Untung sendiri. Dewan inilah yang  akan melaksanakan pemerintahan seharihari. Semua perwira TNI diminta melaporkan diri kepada DR. Dan para perwira tinggi agar rela menurunkan pangkatnya sampai pada pangkat tertinggi Letnan Kolonel.
Situasi politik dan pergerakan militer berjalan cepat. Pada siang hari dalam siaran Warta Berita RRI terdengar suara Mayor Jendral TNI Soehato Panglima Kostrad saat itu, yang mengumumkan apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Ia membantah adanya Dewan Jendral yang akan mengadakan koupdetat. Justru Dewan Revolusi lah yang ditunjang PKI yang telah melakukan koup dan bahwa sejumlah perwira tinggi TNI telah diculik dan masih terus dicari keberadaan mereka.
Rupanya satuan-satuan pasukan khusus RPKAD siang itu telah berhasil menguasai kembali gedung studio RRI di Jl, Merdeka Barat dan kemudian kantor Pos dan Telekomunikasi di Jalan Merdeka Selatan.
Hari berikutnya para pewira TNI  yang diculik berhasil ditemukan. Semua tujuh orang,  telah tewas dan ditimbun dalam sebuah  sumur tua di kawasan Pondok Gede Jakarta. Siang harinya jenazah  para korban disemayamkan Mabes TNI Jl.Merdeka Barat dan kemudian dikawal ribuan warga ibukota ke Makam Pahlawan Kalibata. Suara Menhankam /PANGAB, Jenderal Nasuton yang lolos ndari usaha penculikan, dalam nada terbata-bata menyebut tuduhan para penculik adalah fitnah yang lebih kejam daripada pembunuhan. Ia sendiri kehilangan putrinya, Ade Irma yang masih usia TK. Ia tewas bersama pengawal ayahnya  Kapten Piere Tendean.
Hari-hari berikutnya gelombang kemarahan rakyat memuncak. Demonstrasi pembubaran PKI yang dituduh ada dibalik gerakan itu kian memanas. Kantor  comite central PKI  Jalan Kramat Raya depan Jalan Raden Saleh habis dilalap api. Demikian juga kantorkantor organisasi yang sebelumnya diketahui berafiliasi dengan partai itu.
Presiden Sukarno yang mulai terdengar lagi suaranya mengumumkan pengangkatan beberapa pejabat teras TNI. Diantaranya  Jendral Pranoto Reksosamodra sebagai Panglima AD menggantikan Jend. A. Yani yang tewas. Lalu melalui surat keputusannya  Presiden mengangkat Mayjen Suharto  menjadi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang kemudian dikenal dengan Supersemar. Atas dasar  itulah maka  Mayjen Suharto mengumumkan pembubaran PKI dan segala organisasi yang bernaung dibawahnya.
Apa yang terjad selanjutnya, tak sempat kuikuti lagi. Aku telah masuk dalam perawatan di RS. Fatmawati Jakarta.  Hanya aku dengar para menteri Kabinet Dwikora saat itu mulai di “diamankan” satu persatu .  Sedang Presiden Sukarno  sendiri, setelah pidato pertanggungjawabannya ditolak di Sidang Istimewa MPRS ia dikenakan perawatan rumah dan terakhir di wafat di RSPAD Jakarta.
Dengan demikian Kabinet Dwikora bubar dan membuka kesempatan terbentuknya Kabinet Ampera dengan Mayjen Suharto sebagai Pejabat Presiden sesuai tuntutan dari berbagai pihak saat itu.
*******

                                                                                

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *