Sunday, May 5, 2019

BILA IBUKOTA PINDAH KE KALTENG


Seusai pemungutan suara Pilpres dan Pileg 15 April 2019 yang lalu, Presiden Joko Widodo mencanangkan kembali rencana untuk memindahkan Ibukota RI dari Jakarta. Bahkan langsung mengumpulkan anggota kabinetnya untuk mendengar pemaparan dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro yang sebelumnya  ditugaskan membuat kajiannya.
Ada beberapa alternatif yang dibahas. Tetap di Pulau Jawa dengan hanya menggeser ke beberapa wilayah sekitar atau memindahkan samasekali ke luar Jawa seperti Sumatera, Sulawesi atau Kalimantan. Diantara alternatif-alternatif itu nampaknya Kalimantan Tengah lebih mendapatkan perhatian.
Pertama, karena kawasan itu memang sudah sejak lama di iming-iming oleh Presiden pertama RI Ir. Soekarno untuk dijadikan Ibukota baru.
Kedua, letaknya pas berada di  tengah-tengah negeri ini sehingga diharapkan pembangunan pembangunan kedepan bisa lebih merata ke seluruh negeri.
Ketiga, sarana transportasi sudah agak memadai, yang terpenting lagi, kawasan ini dianggap lebih stabil dan aman dari bencana gempa bumi karena tidak dilalui alur gempa tektonik yang melintasi Indonesia. Yang mungkin sedikit mengkhawatirkan adalah bencana kebakaran hutan yang sering merepotkan di wilayah itu, bahkan juga oleh negara-negara tetangga yang terganggu oleh kabut asap.
Dari segi pembiayaan, Pemerintah nampaknya sudah memiliki rencana mengatasinya. Hanya ada beberapa hal yang agaknya perlu dikaji lebih lanjut agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.
Sudah dapat diperkirakan bahwa ketika keputusan pemindahan Ibukota ini ditetapkan, para makelar-makelar tanah atau tukang catut tanah akan  berbondong-bondong memborong tanah-tanah dari penduduk di kawasan bakal ibukota baru lalu nanti dijual dengan harga tinggi kepada Pemerintah.
Oleh karena itu berbarengan dengan keluarnya Kepres pemindahan Ibukota perlu dikeluarkan pula instruksi tentang pembatasan pengalihan kepemilikan tanah, kecuali untuk keperluan Pemerintah atau negara. Tanah hanya boleh dilepas kepada pemerintah dengan harga yang pantas sesuai peraturan yang berlaku.
Hal ini menyangkut juga zoning atau tata kota. Lokasi mana untuk perkantoran, perumahan, lokasi bisnis dan perdagangan serta lokasi untuk industri dan jalur hijau. Jadi setiap perusahaan, baik swasta maupun BUMN harus menyesuaikan pengadaan tanahnya sesuai kebutuhan perusahaannya. Tidak boleh membeli tanah kemudian membuat bangunan sesukanya di atas tanah miliknya.
Satu hal lagi yang perlu dikaji, bagaimana dampak pemindahan ibukota ini dengan perubahan iklim global. Demikian juga bagaimana nasib satwa-satwa langka khas Kalimantan seperti gorrila dan lain-lainnya yang pasti kedudukan mereka akan makin terdesak.
Sejak dahulu Kalimantan dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia. Kawasan yang menghasilkan oksigen karena hutan-hutannya yang lebat dan menjaga keteraturan pergantian musim, musim hujan dan musim panas. Itu dulu, entah sekarang  setelah banyaknya pembabatan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Apakah dengan pemindahan ibukota ini tidak akan mengganggu stabilitas pergantian musim ini ?
     Antisipasi ini perlu diperhatikan, karena sebagai konsekwesi dari pembangunan sebuah kota, apalagi sebuah ibukota negara, pasti akan disusul dengan bertumbuhnya kota-kota satelit di sekitarnya seperti halnya kota Jakarta. Terutama sejak dekade tahun 70-an. Akibat pertumbuhan kota-kota satelit seperti Bekasi, Krawang, Tanggerang dan Depok, tanah-tanah yang dahulu merupakan kawasan persawahan dan pertanian  yang menghasilkan beras, sekarang telah berubah rupa menjadi kawasan perumahan, pertokoan dan pabrik-pabrik. Akankah hutan-hutan Kalimantan juga ikut tergusur menjadi pemandangan yang gersang dengan berbagai bangunan ? ***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *