Thursday, February 12, 2015

HAKIM PRA PERADILAN KOMJEN BG JANGAN SAMPAI MELENCENG



Sidang pra peradilan gugatan Komjen BG di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kini tengah berlangsung untuk menetapkan keabsahan penetapan Komjen BG, calon Kapolri sebagai tersangka tindak pidana korupsi oleh KPK.

   Yang dipermasalahkan para penggugat adalah tidak lengkapnya jumlah pimpinan KPK ketika mengambil keputusan penetapan itu. Sesuai pasal 21 ayat (1) huruf a, UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK, pimpinan KPK terdiri dari 5 orang. Sedangkan saat diambil keputusan menyangkut BG, pimpinan KPK hanya 4 orang, karena satu orang telah pensiun. Para pengacara BG berpendapat keputusan itu tidak sah, tetapi pihak KPK berpendapat  sah.

Dalam kebanyakan Undang-undang yang menyangkut pembentukan lembaga negara, biasanya ada pemisahan yang tegas antara susunan, kedudukan, tugas dan wewenang setiap unsur organisasi dengan Tata Kerja dan Prosedur Pengambilan Keputusan. Biasanya melalui  Bab-Bab yang berbeda.

Namun dalam UU KPK ini, tidak ada pemisahan yang tegas mengenai hal ini. Pada pasal yang sama di ayat (5) disebutkan, Pimpinan KPK bekerja secara kolektif. Sedangkan dalam  penjelaan  ayat ini menyebutkan,  Yang dimaksud dengan “bekerja secara kolektif” adalah bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.                

Tidak ada disebutkan mengenai ketentuan quorum atau jumlah minimal yang harus hadir atau jumlah suara tertentu untuk penentuan keabsahan suatu pengambilan keputusan. Namun dari penjelasan ayat di atas, tersirat adanya keputusan berdasarkan hasil musyawarah mufakat.

 Untuk lebih memperjelas hal-hal tersebut, maka KPK sesuai pasal  Pasal 25 diberi kewenangan menetapkan lebih lanjut kebijakan dan tata  kerja  organisasi mengenai pelaksanaan  tugas dan wewenangnya. Demikian juga untuk menentukan kriteria penanganan tindak   pidana koupsi. Ketentuan mengenai prosedur tata kerja ini diatur lebih lanjut  dengan Keputusan KPK.

Dalam menilai kinerja daam suatu organisasi, maka berlaku asas yang umum, yaitu membandingkan  antara  peraturan atau ketentuan yang mengatur dengan praktek pelaksanaannya. Pelaksanaan apakah telah sesuai dengan yang seharusnya. Das sein apakah sudah sesuai Das Sollen.

Oleh karena itu untuk menilai kinerja KPK khususnya mengenai keabsahan pengambilan keputusan KPK menyangkut status tersangka BG perlu pula memperhatikan kebijakan-kebijakan dan tata kerja KPK sesuai Keputusan KPK berdasarka kewenangan yang diberikan pasal 25 diatas, yang berlaku pada saat itu.

Jadi menurut penulis adalah melenceng apabila nanti penilaian hakim  lebih didasarkan pada penafsiran pribadi  dari berbagai ahli atau buku tex ini dan itu. Kalau saksi ahli bahasa untuk menjelaskan berbagai istilah yang mungkin belum terdefinisikan dalam peraturan perundangan yang bersangkutan,  mungkin masih bisa dimengerti.   
Tidak pula didasarkan  pada pengalaman mantan penyidik KPK asal  Kepolisian yang tentu saja dapat berbeda satu dengan yang lain. Sebetulnya  para saksi yang sekarang sudah kembali  ke lingkungan  institusi POLRI tidak layak diajukan sebagai saksi karena diragukan independensinya.***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *