Thursday, April 4, 2019

Modui ala Mori Bahono


Sagu adalah makanan pokok kedua bagi penduduk di beberapa daerah di Indonesia termasuk daerah Morowali Sulawesi Tengah. Namun cara menyajikannya tidaklah sama pada  setiap suku. Begitu juga di wilayah Morowali yang dihuni berbagai suku kecil juga tidaklah sama pengolahannya.
Ini wajar karena seperti Indonesia yang terdiri dari  berbagai ragam etnis, budaya dan bahasa, begitu pula di Morowali. Malahan di sana ada suku Mori yang juga terdiri dari berbagai anak suku seperti Towatu, Tomobahono, To’impo, Toroda, Tomoiki, Tomolongkuni, Topetasia dan lain-lainnya. Anak-anak suku ini mempunyai bahasa, dialek dan adat-istiadat berbeda satu sama lain. Namun  suku-suku ini tetap memiliki bahasa persatuan, yaitu bahasa Mori , menurut  dialek Toroda. Bahasa umum ini dipakai dalam acara-acara pertemuan antar suku dan khotbah-khotbah di rumah ibadah. Di perantauan, warga berbagai suku di atas, umumnya kalau ditanya, mereka selalu menyebut diri sebagai orang Mori.
Begitu juga dalam hal mengolah bahan makanan. Orang Mori Bahono atau Tomobahono, biasanya mengolah sagu menjadi “dange”, semacam penganan yang diramu dari campuran sagu segar dan kelapa parut kemudian dimasukan kedalam alur-alur cetakan terbuat dari tanah lihat yang telah dipanaskan sampai memerah. Alat cetak yang sudah diisi campuran yang dipadatkan itu ditutup dengan nampan yang tahan panas kemudian dibalikkan dan ditaruh di atas meja. Sekitar sepuluh menit biasanya cetakan bisa dibalik dan dangenya boleh dikeluarkan, sia untuk disantap. Rasanya garing dan biasanya bisa tahan beberapa hari.
Tapi yang akan dibahas lebih luas dalam tulisan ini adalah cara mengolah sagu menjadi papeda, atau menurut istilah orang Bahono disebut “dinui”. Orang yang sedang makan papeda disebut “modui”. Sedang alat makan yang biasa disebut sumpit, orang Bahono menyebutnya “dui”.
Mengapa istilah-istilah Bahono ini dikemukakan secara khusus ?  Karena cara menghidangkan dinui pada orang Bahono rupanya lain daripada yang lain. Tidak persis sama dengan suku-suku lain yang menghidangkannya dalam satu wadah sehingga nampak seperti cendol. Diolah sekaligus oleh juru masaknya kemudian dihidangkan dalam satu wadah. Kemudian diseduh oleh masing-masing oleh yang menyantap ke piringnya.
Cara ini nampak kurang menarik. Cita rasanya tidak selalu seperti yang diinginkan. Ukuran  bulatan-bulatan dinuinya juga terkadang terlampau besar bagi sebagian orang. Bumbunya atau bumbunya juga terkadang tidak pas. Lain dengan cara orang Bahono. Setiap orang akan mempersiapkan dan mencicipi sendiri terlebih dahulu kuah penyedap di piringnya. Dia bisa mengatur sendiri, apakah perlu menambah sambel biar lebih pedas, menambah terasi atau menambah asam. Tidak semua orang  suka atau  tahan dengan makanan pedas. Sehingga kalau dihidangkan sama untuk semua, jelas akan sangat menyusahkan sebagian penyantap yang mestinya ikut menikmatinya dengan sukacita.. Lalu bagaimana orang Bahono mengolah sagu, menyiapkan bumbu pelengkapnya dan kemudian menyajikannya menjadi hidangan dinui yang nikmat ?
Namun sebelum sampai ke sana perlu dikemukakan dulu bahwa orang Bahono umumnya mengosumsi sagu segar dari pohon sagu yang baru diolah.  Biasanya pohon sagu sudah bisa dipanen atau ditebang pada usia sepuluh tahun. Orang tua-tua biasanya menyebutnya usia ‘timboro’.
Dulu, pengolahan sagu diproses secara tradisionil. Belum menggunakan mesin penggiling. Batang sagu yang sudah ditebang  dipotong  dengan panjang sekitar tiga meter kemudian dibelah. Dipotongnya  tidak sampai putus, hanya sebelah pada bagian atas saja. Bagian bawahnya tetap memanjang tak dipotong. Bagian atas yang sudah  potong sebelah   itu kemudian dibelah dua sehingga kedua belahan menghadap keatas.
Selanjutnya isi bagian dalam kedua belah  potongan  itu “disambe” yaitu seperti memacul dengan menggunakan sambe, semacam pemacul kecil yang diujungnya dipasangi plat besi yang tajam. Selesai kedua belah disambe, selanjutnya dilakukan pemotongan dan pembelahan berikutnya dan seterusnya sampai seluruh batang sagu itu habis diolah.
Hasil paculan nampak seperti campuran semen kasar berwarna merah muda dan basah. Namanya “bure”. Adonan bure ini ternyata sangat ampuh untuk membersihkan peralatan-peralatan dari kuningan atau tembaga. Diperam beberapa jam saja dalam bure, nanti akan menjadi bersih mengkilat lagi.
Untuk memeras bure sampai menghasilkan sagu segar, biasanya dibuat para-para setinggi sekitar dua meter dengan ukuran  dua kali dua meter persegi. Lantainya tidak terlalu rapat sehingga air masih bisa lancar mengalir turun ke bawah.
Letaknya harus dekat sumber air yang bersih agar mudah menyedot air dari atas parra-para. Di atas para-para  ditempatkan sebuah keranjang besar yang disebut “landaka”. Biasanya terbuat dari anyaman rotan dengan diameter sekitar satu setengah meter. Di bagian dasarnya dilapisi anyaman ijuk sebagai saringan. Demikian pula di sekitarnya setinggi kira-kira setengah meter.
Untuk menimbah air, dibuat gayung dari kulit pelepah sagu berbentuk kerucut ukuran ember sedang. Tangkainya dari batang bambu kecil sepanjang  sekitar tiga meter.
Gumpalan bure  kemudian dimasukan ke dalam landaka setebal tinggi ijuk penyaring di sekelilingnya.  Selanjutnya pengrajin membersihkan kaki lalu masuk ke dalam, menimba air dan menggenangi bure didalamnya sambil menginjak-injaknya berkeliling. Maksudnya untuk memeras tepung sagunya. Sekali-sekali ia menambahkan air lalu membanting ke kiri dan kekanan dengan maksud mengaduk, agar yang di atas turun ke bagian bawah dan sebaliknya. Air perasan bure yang sudah tersaring oleh lapisan ijuk mengalir ke bawah ke tempat penampungan.
Tempat penampungan dipasang di bawah dan disamping para-para. Dibuat  dari dua pelepah sagu  besar yang kedua pangkalnya disambung sehingga nampak seperti perahu. Di bagian terendah dari kedua pinggirnya dipasangi penahan air terbuat dari potongan-potongan pelepah sagu berbentuk segi empat selebar tapak tangan. Semuanya dibelah  sampai setengah bagian lalu dipasang berderet di kedua pinggir penampungan seperti kita memasang klip kertas. Biasanya wadah penampungan dibuat dua pasang berjajar.
Bila pati sagu dalam penampungan sudah mengendap dengan sempurna dan airnya sudah  memisah  ke atas,  penahan air dilepas sampai airnya habis keluar. Pati sagunya yang sudah mengental dan berwarna merah muda disendok dan dimasukan dalam “basu”, yang juga dibuat dari kulit pelepah sagu. Bentuk basu seperti kerucut besar yang dipotong bagian atasnya kemudian dibalik sebagai dasar.
Warna dinui dari sagu yang baru diolah seperti itu biasanya nampak menarik dengan warna merah muda dan kenyal.. Tidak seperti dinui yang dibuat dari sagu atau tepung ubi kayu yang sudah dikeringkan yang berwarnah putih ke abu-abuan. Terkadang juga kurang kenyal.

Menghidangkan  Dinui  khas Bahono 
Perlengkapan :
-          Sebuah baskom sedang diameter sekitar 25 cm.
-          Sandu atau pengaduk dengan ujung gepeng dari kayu,
-          Dui, atau sumpit terbuat dari bambu atau kayu.
-          Sendok makan (bagi yang perlu).

Bahan :
-          Sagu segar atau sagu kering yang sudah dibasahkan sekitar satu liter (cukup untuk 3 orang).
-    Air 4 liter.
-    Ikan basah secukupnya, sebaiknya ikan tongkol putih atau ikan kakap.

Cara mengolah :
-          Air sekitar 3 liter dimasak sampai mendidih.
-    Sagu dalam baskom diencerkan dengan air sedikit demi sedikit.Tetapi harus dijaga agar tidak terlalu encer. Bila adonan sudah bisa diaduk keliling baskom sudah cukup.Jangan ditambah air lagi. Kalau terlalu encer dapat menjadi lem.
-   Sementara adonan tetap diaduk keliling perlahan, air yang masih mendidih disiramkan sedikit demi sedikit ke atasnya sampai nampak seperti memadat. Bila sudah memadat dan tak bisa diaduk keliling lagi, siraman air panas harus dihentikan.
-   Selanjutnya adonan yang sudah memadat itu diaduk sekeliling, dibolak-balik ke atas dan kebawah sehingga bagian-bagian yang nampak masih seperti adonan sagu dapat bercampur merata menjadi papeda atau dinui.
        Kuah lauk  ikan sangat menentukan kenikmatan hidangan dinui. Dinui nikmatnya disantap waktu masih panas-panas. Karena itu sebelum papeda dibuat, sebaiknya kuahnya disiapkan lebih dahulu Memasak lauk ikan untuk mendapatkan kuah yang pas untuk hidangan dinui tentu saja memerlukan bumbu-bumbu. Yang tak boleh ketinggalan adalah terasi dan asam. Sebaiknya untuk asam digunakan  jeruk dan bukan cuka, asam jawa atau yang lainnya. Demikian juga tidak memberi cabe karena ada orang yang tidak tahan atau  suka dengan yang pedas-pedas. Bagi yang suka pedas dapat disediakan pada mangkok tersendiri.

Cara menghidangkan :
-          Setiap penikmat mengambil kuah secukupnya ke dalam piringnya. Dan biasanya mereka akan mencicipi lebih dahulu apakah asamnya atau  terasinya sudah terasa pas menurut seleranya. Kalau perlu rasa pedas, ia bisa menambahkan sambel pada piringnya.
-          Dengan menggunakan dua sumpit di kiri kanan, kita melilitkan sedikit sagu yang masih panas itu melingkar arah ke dalam pada kedua ujung dui sampai membentuk bulatan sekitar sebesar telur bebek..Bulatan itu kemudian dilepas dalam piring yang sudah diisi kuah asam.
-          Selanjutnya dibolak-balik dan dipotong-potong dengan menggunakan kedua dui (sumpit) sampai masing-masing sebesar telur burung puyuh atau lebih kecil agar mudah ditelan.
-      Cara memakannya bisa dengan menusukan ujung sumpit ke bulatan-bulatan kecil itu dan memakannya satu persatu layaknya orang makan sate. Namun bulatan-bulatan itu tidak dikunya tapi langsung ditelan.
-          Sebagian orang memakai sendok makan sehingga lebih banyak kuah yang masuk. Karena kunci kenikmatan menyantap dinui atau papeda khas Bahono ini sebetulnya terletak pada kuahnya.
-          Sebagai pendamping dinui, tentu saja tetap dihidangkan lauk ikannya.   Adakalanya ada juga yang menyudahi makannya dengan menambah nasi sebagai penutup terutama bagi mereka yang belum terbiasa hanya makan dinui.
Sedikit ceritera tentang “modui”

Isteri saya dari keluarga campuran Sangir, Timor dan Sunda. Dua tahun pertama masih tinggal di rumah “Mertua Indah”. Terbiasa dahulu makan selang-seling  nasi dan dinui, rasanya bosan dengan makan nasi melulu. Maka suatu hari, saya memberanikan diri membuat hidangan dinui. Karena sebagai orang Mori-Bahono, tidak tahan dengan hanya makan makanan pokok nasi melulu.    Kontan, jadilah saya  tontonan  mertua, Isteri,serta adik-adik dan neneknya  duduk menyantap  dinui,  yang baru sekarang kunikmati lagi. Melihat begitu asyiknya saya menikmatinya, beberapa diantaranya ikut mencicipinya. “Seperti makan lem’, kata mereka menertawakan.

  Namun, diam-diam ada juga yang rupanya ketagihan. Seorang adik ipar yang datang  berlibur ke Indonesia dan tinggal bersama kami seminggu bersama suami bulenya, sekembalinya ke Belanda, menelpon menyesal ada yang terlupa selama di Indonesia. Apa yang terlupa ? Rupanya lupa minta dibuatkan “makanan lem” seperti dulu.
   Sekarang sang isteri pun sering mengambil inisiatif sendiri membeli ikan khusus untuk mempersiapkan hidangan dinui.  Dan setiap ada kerabat orang Mori datang berkunjung ke rumah, seringkali kami hidangkan dinui untuk santap bersama.

    Bukan itu saja. Kalau ada pertemuan warga Mori  di Jakarta, kadang-kadang juga disediakan pula hidangan dinui. Memang dinui bisa membuat orang ketagihan sehingga tidak harus tergantung pada makanan pokok beras. Ini tidak berarti, warga Bahono kekurangan beras. Persediaan beras selalu ada, bahkan sebelum panen baru, sisa padi atau gabah kering di lumbung masih banyak. Lumbung jarang kosong.
      Ada kelebihan lain dari menyantap dinui daripada makan nasi atau yang lainnya. Karena dinui dimakan ketika masih panas-panas, segera terasa badan lebih hangat bahkan sampai keringatan. Baik sekali untuk orang yang dalam pemulihan sesudah sembuh dari sakit. Hal itu disebabkan juga sagu menghasilkan kalori yang cukup tinggi.Dalam seratus gram sagu kering setara dengan 355 kalori. Di dalamnya rata-rata terkandung 94 gram karboohidrat disamping kandungan lainnya.***




No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *