Friday, March 18, 2022

MINYAK GORENG, OH..MINYAK GORENG !

 Dalam langkanya minyak goreng sekarang, pertama-tama penulis menganggap pemerintahan kita sekarang pemerintahan saudagar. Coba cermati.  Mayoritas para pejabat baik  di eksekutif maupun di legislatif rata-rata adalah pengusaha atau mantan pengusaha. Kalau meminjam istilahnya mantan wakil Presiden Jusuf Kalla, saudagar. Yang lain mengistilahkan kapitalis.

Maka tak heran, kebijakan-kebijakan perekonomian kita sekarang dominan disetir para saudagar ini, yang memegang posisi penting di jabatan-jabatan publik. Kalau posisi-posisi itu dipegang oleh saudagar “anasionalis”, istilah yang pernah ditolak pengusaha Jusuf Wanandi (Liem Bian Kun) dahulu, maka rusaklah perekonomian negeri ini. Dan inilah yang terjadi sekarang. Jangankan ekonomi, hukum pun seperti diucapkan secara lugas oleh Menko Polhukam Mahfud MD, sekarang sudah dijadikan obyek komersil. Di legislatif ada jual-beli pasal. Di urusan tuntut menuntut perkara di pengadilan, ada tawar-menawar pasal.

Maka tak heran kalau di bidang distribusi bahan kebutuhan pokok selama ini selalu ada ketidakberesan. Seperti kelangkaan-kelangkaan pasokan kebutuhan pokok. Kacang kedelelah, telur ayamlah, sampai cabe, gas, daging dan sekarang minyak goreng. Sampai-sampai ada ibu yang meninggal di antrian. Ibu-ibu lain yang kecapean mengantri dengan sandal-sandal mereka.

Padahal, permukaan bumi negeri ini termasuk kampung halaman penulis, hutan-hutannya nyaris habis dicukur untuk menanaman kelapa sawit. Kebakaran hutan untuk penanaman kelapa sawit dari tahun ke tahun merepotkan warga asli sekitar. Bahkan juga banyak protes negara tetangga. Dan, aneh rakyat-rakyat kecil ini sulit mendapatkan minyak goreng !

Menjadi tanda tanya : apakah kelangkaan ini disebabkan kebijakan para pejabat saudagar anasionalis ini yang lebih banyak mengekspor untuk lebih menguntungkan konco-konco saudagarnya karena harga di luar negeri lebih tinggi ? Lalu mengabaikan pasokan dalam negeri sehingga merugikan rakyat kecil ? Atau barangkali memang para pejabatnya yang bermasalah. Entah menteri atau jajarannya yang tak mampu bekerja. Mengatur tata distribusi, tak mampu mengawasi. Atau barangkali memang ikut kongkalingkong dengan para penimbun ? Kalau ini terjadi, mengapa mereka tidak diganti ?

Agaknya, sistim perekonomian kita sekarang benar-benar harus banting stir. Dikembalikan lagi secara nyata ke pasal 33 UUD 1945 dengan memberi peluang dominan kepada koperasi. Koperasi, terutama koperasi konsumsi,  benar-benar harus diberi peluang berperan. Terutama bidang distribusi kebutuhan pokok utama rakyat. Bisakah untuk bahan-bahan kebutuhan pokok tertentu hak pendistribusiannya diserahkan hanya kepada koperasi ? Bisakah setiap keluarga diwajibkan menjadi anggota koperasi untuk bisa mendapatkan bahan pokok tersebut ? Dengan demikian, pendistribusian bahan kebutuhan pokok esensial  oleh koperasi sendiri. Apabila pasokan kurang, mereka akan berteriak kepada pengurus koperasi mereka sendiri dan anggota dapat ikut mengawasi pekerjaan pengurus.

Dituduh pemerintah terlalu banyak ikut campur ? Boleh saja, tetapi bukankah konstitusi menegaskan bahwa cabang-cabang produksi dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara ?

Dulu badan-badan pelayanan masyarakat seperti kereta-api, pos, penerangan, rumahsakit berbentuk Jawatan yang semata-mata hanya melayani masyarakat tanpa motif mencari untung. Sekarang semua jadi PT yang bertujuan mencari untung. Bahkan rumahsakit, perguruan tinggi sudah mirip-mirip PT.

Tak melaksanakan pasal 33 UUD 1945 in, berarti  kita, atau setidaknya para pejabat pemegang kebijakan utama, baik di eksekutif maupun legislatif  tidak konsisten. Tidak mengikuti maksud para pendiri negeri ini dan menyeleweng ke arah ekonomi kapitalis-liberal. Kalau tak dilaksanakan, berarti kita menjadi bangsa munafik. Sering membangga-banggakan gagasan sistem ekonomi gotong-royong  koperasi , tetapi dalam praktek tak nyata. Kalaupun ada, kondisi koperasi-koperasi ini lebih mirip-mirip lembaga sosial yang mati tapi dihidup-hidupkan.

Sekarang memang sulit diputar kembali karena perekonomian negeri ini telah telanjur dikuasai kaum kapitalis-liberal berkolaborasi dengan kaum politisi anasional yang duduk di lembaga-lembaga negara. Dibutuhkan tindakan berani dan drastis alias revolusioner. Tetapi kalaupun sulit, bisa dimulai secara bertahap.. ***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *