Thursday, June 2, 2022

MEMANFAATKAN MOMENTUM KONFLIK UKRAINA-RUSIA

 Konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina yang didukung Nato mengingatkan kita pada perang dingin antara NATO dan SEATO yang dipimpin Amerika disatu pihak dan Pakta Warsawa dilain pihak yang dipimpin Uni Sovyet. Tokoh yang menonjol saat itu Presiden Amerika Serikat John F.Kennedy dan Presiden Uni Sovyet Nikita Kruschev. Diluar kedua blok ini tampil pula tokoh-tokoh politik dunia lain seperti Mao Tse Tung, Presiden RRT, Kim IL Sung, Presiden Korea Utara, Norodom Sihanouk dari Kamboja dan tentu saja Ir. Sukarno Presiden Republik Indonesia.

Diantara tokoh-tokoh dunia di luar dua blok ini faktanya Presiden Sukarno nampaknya tampil lebih menonjol. Meskipun ia seorang insinyur sipil keluaran Sekolah Teknik Tinggi (ITB Bandung sekarang), namun sejak mudanya ia lebih banyak berkiprah di kancah politik. Baik politik dalam negeri terutama internasional.

Masalah Irian Barat yang belum-belum juga diserahkan pemerintah kolonial Belanda, dimainkannya untuk menggalang dukungan negara-negara berkembang di bawah panji anti imperalisme dan anti kolonialisme. Ia tahu jiwa dan semangat negara-negara berkembang saat itu – yang masih terjajah atau setengah terjajah - dan mempunyai keinginan yang luar biasa untuk merdeka dari tekanan dan penghisapan ekonomi dari negara-negara kapitalis. Bersama dengan beberapa tokoh, seperti PM.India Neru, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden Kwame Nkrumah dari Ghana, Presiden Josef Broz Tito dari Yugoslavia ia mendirikan Gerakan Non-Blok (Non Aligned Movement). Tujuannya untuk berusaha menengahi dann  melerai kedua blok aliansi militer berseteru ini. Untuk mewujudkan gagasan itu  mereka melakukan empat kali pertemuan. Dua diantaranya di Indonesia, yaitu sekali di Bogor yang terkenal dengan Konferensi Pancanegara dan kemudian di Bandung yang terkenal dengan Konferensi Asia Afrika (KAA).

Tapi Sukarno nampaknya belum puas hanya sebagai pemimpin negara-negara Non Blok . Ia melangkah lebih lanjut dengan menyusun kekuatan melalui pembentukan The New Emerging Forces (NEFOS). Tujuannya sebagai kekuatan dunia ketiga untuk menghadapi negara-negara neo kolonoalisme Barat yang nampak seperti tetap mau berlama-lama menduduki tanah jajahan mereka. Maka Ia menggaet tokoh-tokoh politik Asia berpengaruh. Terkenallah apa yang disebut poros kekuatan baru : Jakarta – Pnomphen – Pyongyang- Hanoi – Peking.

Meski menjaga jarak dengan kedua blok militer Pakta NATO dan Pakta Warsawa yang berseteru, namun Presiden Sukarno cukup cerdik memainkan prinsip “bebas aktif” seperti diamanatkan UUD 1945 sebagai dasar politik luar negeri RI. Ia tetap berbaik dengan Presiden John F. Kennedy dan dengan saat yang sama berbaik dengan Nikita Krushchev. Ketika berkunjung ke Amerika, dengan pintarnya Presiden Sukarno mengambil hati rakyat dan para pemimpin AS. Dengan menggandeng putra sulunghnya Guntur Sukarnoputra yang masih bocah, melalui para wartawan di bandar udara ia berujar, “Ketika  menginjakkan kaki disini, saya langsung merasakan suatu negara demokrasi yang damai”. Namun di depan Kongres Amerika ia tetap tegas dengan sikapnya yang anti koloniaisme. Sambil menunjuk Jendral Nasution disampingnya, ia berkata : “Ini Jendral Nasution, tentara profesional. Dia cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan !”

Dengan Nikita Krushchev ? Presiden Uni Sovyet yang juga pemimpin tertinggi Pakta Warsawa ini diundang ke Jakarta. Sebuah film berjudul “Kunjungan Sahabat” diputar di bioskop-bioskop Indonesia. Spanduk dengan gambar besar-besar sang tokoh dipajang di mana-mana.

Hasilnya ? Segera sesudah itu bantuan persenjataan – yang sangat dibutuhkan menghadapi militer kolonial Belanda di Irian Barat saat itu – terus mengalir. Puluhan kapal selam, pesawat-pesawat tempur Mig, Iliyusin segera berdatangan. Putra-putri penerbang Indonesia dikirim dan dilatih menerbangkan pesawat-pesawat tempur dan kapal-kapal selam modern itu. Saat itu beberapa penerbang Indonesia diantaranya Leo Watimena dan Rusmin Nuryadin sangat populer oleh kelincahannya mendemonstrasikan pesawatnya. Maka tak heran kalau Angkatan Perang Indonesia kala itu cukup disegani dan dianggap terunggul di Asia Tenggara. Dan akhirnya pada 1 Mei 1963 Belanda terpaksa juga mau melepaskan kedaulatan atas Irian Barat ke Indonesia. Tetapi untuk tak kehilangan muka dilakukanlah melalui PBB.

Berkaca dari kepiawaian Ir.Sukarno ini, di tengah-tengah kemelut perang Rusia-Ukraina saat ini – mungkin Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi bisa kembali tampil berperan sebagai pemimpin dunia. Apalagi Indonesia kini menjadi Presiden G-20, organisasi yang mencakup negara-negara besar dunia. Bulan Nopember 2022 akan datang Indonesia mengundang pemimpin-pemimpin negara G-20 ini di Bali – termasuk kedua negara yang tengah berperang.

Keputusan Indonesia ini memang sudah sesuai dengan politik luar negeri “bebas aktif”. Bila perlu organisasi negara-negara Gerakan Non Blok (GNB) disemangati lagi untuk berperan. Antara lain dengan mengundang Ukraina menjadi anggota GNB bahkan diberi peran dalam kepemimpinan. Dengan demikian, negara-negara GNB dapat menjadi salah satu organisasi penjamin keamanan dan kenetralan Ukraina. Sekaligus untuk menghilangkan ketakutan Rusia dijadikannya Ukraina menjadi pangkalan  NATO bila negeri itu bergabung ke aliansi itu. Bukankah ini yang menjadi dalih Rusia menginvasi Ukraina saat ini ? ***

 

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *