Monday, June 22, 2020

BELUM PERNAH PERS SEBLUNDER BERJAMAAH SEPERTI INI

Ya, selama lebih setengah abad saya ikut bergelut di bidang pers, sejak jaman Orde Lama, Orde Baru dan sekarang Orde Reformasi, belum pernah kudengar pers berbuat blunder berjamaah seperti dalam kasus pemblokiran internet di persidangan PTUN beberapa hari lalu. Termasuk media besar yang menyebut diri “tepercaya dan independen”. Bahkan kusayangkan, termasuk juga TEMPO, bekas almamaterku yang selalu kubanggakan. Di depan Dewan Pers, ke 27 media pers ini mengaku salah dan meminta maaf. Tapi Dewan Pers yang kini menjadi pemegang otoritas menilai karya pers berdasarkan Undang-undang, tidak memberi sanksi apapun. Hanya memberikan hasil evaluasi dan lebih mirip-mirip sindiran. Dahulu, di zaman Orde Baru, Harian Sinar Harapan, salah satu dari dua koran terbesar saat itu, langsung dibreidel hanya karena memuat lebih dahulu RAPBN sehari sebelum Presiden membacakannya di sidang DPR ! Tak heran, kalau Ade Armado, dosen UI yang kritis itu membuat ulasan panjang mengenai kasus ini. Di hampir semua media tersebut, kalimat ‘PTUN memerintahkan Pemerintah/Jokowi meminta maaf’ termuat di judul berita," ucap Ade Armando. Apa pasal ?. Bagi saya yang lama menjadi jurnalist di bidang hukum, agak merasa geli. Bagaimana mungkin. Sepenggal bagian dari tuntutan jaksa di Pengadilan Tata Usaha Negara itu – yang menyangkut pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat Agustus 2019 ketika terjadi kerusuhan di sana, dipublikasikan ke rakyat Indonesia seolah-olah sebagai keputusan. Isinya, agar PTUN menghukum Presiden Joko Widodo meminta maaf kepada publik. Blunder. Padahal sesuai Surat PTUN ke Dewan Pers pada Jumat, 5 Juni 2020., bunyi keputusan PTUN lain samasekali. Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang dipimpin Hakim Ketua Nelvy Christin serta hakim anggota Baiq Yuliani dan Indah Mayasari, memutuskan Pemerintah Indonesia bersalah dalam kasus pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019. Mengabulkan gugatan para Penggugat. Menyatakan tindakan-tindakan pemerintah yang dinyatakan oleh Tergugat I dan II adalah perbuatan melanggar hukum. Tak ada kalimat agar Presiden Jokowi meminta maaf secara terbuka kepada publik. Kecerobohan fatal. Padahal, undang-undang dan kode etik jurnalistik, sejak jaman baheula sudah mewanti-wanti agar selalu cek dan recek. Tapi aneh. Pada zaman alat komunikasi makin canggih saat ini, hal seperti ini masih juga terjadi. ***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *