Tuesday, June 2, 2020

CARUT MARUT BLT YANG TAK ADA HABIS-HABISNYA

Melalui media televisi telah berulang kali kita saksikan kericuhan dalam penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam rangka membantu warga kaum miskin dalam kaitan dengan dampak virus corona saat ini. Umumnya kericuhan itu terjadi pada saat penyaluran di kantor-kantor Desa. Ada warga yang membanting kursi karena menemukan namanya telah dihapus tanpa sepengetahuannya bahkan ada kantor desa sampai dibakar. Sebenarnya Kementerian Desa dan PDTT telah mengeluarkan beberapa keputusan menteri yang mengatur penyaluran bantuan sosial seperti Permen No.6 Tahun 2020 tanggal 13 April 2020 tentang perubahan penggunaan Dana Desa. Tetapi nampaknya prosedurnya masih birokratis. Sebelumnya, prosedurnya harus melalui banyak tahap dan berjenjang seperti rapat-rapat, penyusunan tim, panitia, reviu,validitasi dll yang melibatkan banyak orang dan memakan waktu yang tak sedikit. Akibatnya sampainya bantuan kepada yang berhak memakan waktu lama. Padahal bantuan itu sifatnya darurat. Maka tak heran bila Presiden Jokowi menjadi tak sabar dan minta agar prosedur itu dipotong, dipersingkat. Namun itupun belum menyelesaikan masalah. Ada yang mencak-mencak karena jumlah uang yang diterima tidak sesuai dengan yang seharusnya. Dipotong entah untuk siapa dan untuk apa. Banyak yang protes karena ada orang-orang yang tergolong mampu mendapatkan bantuan. Bahkan lebih dari sekali. Tapi sebaliknya ada warga yang hidupnya susah tidak menerima. Keluhan semacam ini bukan mengada-ada. Karena sudah terjadi di beberapa tempat ada yang mengembalikan bantuan karena merasa tidak berhak menerima bantuan yang seharusnya menjadi hak orang susah. Ini sekaligus membuktikan kebenaran carut-marutnya data penerima bantuan. Data calon penerima BLT ini dikumpulkan oleh sebuah Tim yang terdiri dari 21 unsur dibawah pimpinan Kepala Desa dan dilakukan melalui jalur RT,RW dan Desa. Hasilnya dibahas dalam Musyawarah Desa, dievaluasi kemudian ditandatangani Kepala Desa. Selanjutnya disampaikan kepada Bupati / Walikota melalui Camat untuk disahkan. Lima hari setelah disampaikan ke Camat BLT sudah harus dicairkan. Karena datanya sudah melalui pengurus RT dan RW yang dianggap paling tahu mengenai kondisi setiap warganya, serta sudah diverifikasi, mestinya tak perlu terjadi kasus seperti tersebut di atas. Maka timbullah dugaan, mungkin dalam tahap ini ada permainan kongkalingkong untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Sebetulnya, bagaimana sih prosedur penyaluran bantuan BLT di pedesaan ini ? Dana BLT diambil dari alokasi Dana Desa dari APBN sesuai proporsi masing-masing. a) Desa penerima Dana Desa kurang dari Rp 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah) mengalokasikan BLT-Dana Desa maksimal sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah Dana Desa. b) Desa penerima Dana Desa Rp 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 1.200.000.000 (satu miliar dua ratus juta rupiah) mengalokasikan BLT-Dana Desa maksimal sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Dana Desa. c) Desa penerima Dana Desa lebih dari Rp 1.200.000.000 (satu miliar dua ratus juta rupiah) mengalokasikan BLT-Dana Desa maksimal sebesar 35% (tiga puluh lima persen) dari jumlah Dana Desa. d) Khusus desa yang jumlah keluarga miskin lebih besar dari anggaran yang dialokasikan dapat menambah alokasi setelah mendapat persetujuan Pemerintah Kabupaten/Kota. Untuk penyalurannya kepada yang berhak, yang bersangkutan menyerahkan KTP dan nomor rekening banknya kepada Sekdes atau Kaur yang selanjutnya akan mentransfer dana BLTnya. Menurut ketentuan Kepmen Desa dan DTT No. 6 Th.2020 pada Lampiran II huruf Q - penyaluran bantuan kepada penerima dilakukan dengan metode cash less atau non tunai. Artinya tidak dalam bentuk tunai. Maka untuk ini, seharusnya Tim mengarahkan dan membantu agar setiap penerima BLT Desa dapat memiliki rekening bank. Sehingga pembayaran langsung tunai seperti yang banyak dilakukan saat ini dapat dihentikan. Dan kasus-kasus pemotongan dan sebagainya itu tidak terjadi lagi.. Biasanya dalam cara pembayaran langsung tunai inilah permainan itu bisa terjadi. Bila petugas yang kurang iman dapat mudah tergoda. Berharap untuk bisa mendapatkan “uang lelah”. Tanpa mendapat bagian, dianggapnya hanya “kerja bakti”. Padahal mereka menjadi perangkat Desa adalah untuk melayani rakyat. Dan untuk jabatan itu dibayar Negara. Pembayaran yang seharusnya cepat, bisa jadi berlama-lama. Penerima harus antri berdesak-desak, kecuali kalau ia mau uangnya dipotong untuk “dana sukarela”. Atau dengan alasan lain seperti untuk dibagikan kepada mereka yang belum dapat. Untuk mencegah kerumunan warga yang mengantri berdesak-desakan sesuai dengan Protokol Kesehatan, mestinya Tim dapat mengatur jadwal pencairan untuk tiap wilayah Dusun, Rukun Keluarga/ Rukun Warga. Begitu sederhananya. Pada kesempatan itu, Tim Relawan melawan Covid 19 juga dapat lebih mendisiplinkan warga dengan jalan bagi yang tidak memakai masker pembayaran BLTnya akan ditunda. Mengenai protes pantas / tidak pantasnya seseorang mendapat bantuan BLT, maka transparasi atau keterbukaan seperti yang diperintahkan dalam Bab III Lampiran I Kepmen Desa PDTT ini harus benar-benar dilaksanakan. Seperti menempelkan daftar penerima BLT di papan-papan pengumuman Desa, RW, RT bahkan melalui media sosial seperti facebook, WA dll. Dengan demikian, setiap warga bisa terus ikut mengoreksi bila ada yang terasa janggal. Untuk menyeleksi warga yang benar-benar layak menerima bantuan, sebaiknya setiap calon penerima diminta menandatangani surat permohonan BLT yang didalamnya ada pernyataan seperti yang dipersyaratkan seperti kehilangan mata pencaharian, ada keluarga yang sakit kronis dan belum menerima bantuan lain dari pemerintah. Dengan demikian tak akan terjadi lagi ada orang yang mengembalikan bantuan, entah uang tunai atau dalam bentuk sembako. Di lain pihak, bila penerima bantuan ternyata memberikan keterangan tidak benar dapat dituntut secara hukum. ***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *