Monday, December 28, 2009

WASPADAI KORUPSI / PEMBOROSAN MELALUI IKLAN PUBLIK

Pada masa pemerintahan Orde Baru dahulu pejabat-pejabat publik dan lembaga-lembaga negara dilarang menggunakan uang negara untuk kepentingan iklan. Alasannya karena pemasangan iklan rawan manipulasi, penyalahgunaan wewenang dan pemborosan uang negara. Tetapi sekarang larangan ini telah ditiadakan. Malahan pejabat-pejabat negara bahkan sampai menteri-menteri seperti berlomba-lomba ikut beriklan terutama melalui televisi.

Di mana peluang korupsi dan pemborosan uang negara dapat terjadi ? Dalam dunia periklanan ada tiga pihak yang mungkin terlibat dalam transaksi. Pertama pemasang iklan ; kedua, media pemasang iklan; dan Biro Iklan. Biro iklan merupakan perantara antara pemasang iklan dan media pemasang. Pemasang iklan bisa saja langsung ke media pemasang, namun untuk iklan-iklan besar dengan biaya pasang ratusan juta sampai miliaran rupiah umumnya melalui Biro Iklan.

Dalam perusahaan yang bidang promosinya telah tertata baik, selalu mempertimbangkan effektivitas dan effisiensi pemasangan iklan. Mereka akan melihat dahulu luas jangkauan massmedia yang akan digunakan, golongan pembaca / pemirsa / pendengar media tsb. serta perkiraan pencapaian target dibandingkan dengan biaya promosi yang akan dikeluarkan. Karena itu Bagian Iklan sebuah media massa, selalu membuat data informasi medianya. Demikian juga pada setiap Biro Iklan ada Departemen Media yang selalu menyiapkan data media untuk kepentingan para kliennya.

Yang menjadi masalah dalam lembaga-lembaga negara atau publik adalah, apakah kebutuhan memasang iklan itu benar-benar perlu dan apakah sudah diperhitungkan efektivitas dan efisiensinya. Sebab sudah menjadi rahasia umum, bahwa baik Biro Iklan maupun media pemasang dapat memberikan retur komisi kepada pemasang iklan. Kalau retur atau potongan biaya itu diadministrasikan dan disetor kembali kepada Instrasi/lembaganya tak ada masalah. Tetapi kalau tidak, maka dapat dimanipulasi untuk keuntungan sendiri. Bahkan lebih dari pada itu bisa saja terjadi rekayasa oleh oknum-oknum yang diberi kewenangan membuat transaksi. Misalnya pemasangan iklan diada-adakan sampai mark up tarip.

Apabila yang bersangkutan atau atasannya menjadi naratornya, maka ada alasan lagi untuk meraup keuntungan tambahan dengan dalih "honorarium". Padahal cara penyampaiannya sama sekali tidak professional, hanya berupa ajakan-ajakan, perintah sampai contoh dialog, tetapi ketika tiba dalam praktek di lapangan sama sekali tidak seindah didialogkan. Kalau hal itu dilakukan berulang-ulang, maka dikhawatirkan anggaran dinas yang disediakan hanya habis diboroskan.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *