Tuesday, September 24, 2019

PERINGATAN : KAMI-KAPPI JILID 2 DI AMBANG PINTU !!


Demonstrasi mahasiswa di berbagai kota di seluruh tanah air mulai marak. Di Cirebon dan kota-kota sekitarnya para mahasiswa berhasil memaksa DPRD menandatangani petisi menolak Undang-Undang KPK hasil revisi DPR serta 4 RUU (Rancangan Undang-Undang) lainnya.  Di Makasar, para mahasiswa mengultimatum  akan menduduki kantor DPRD. Aksi mahasiswa yang sama juga mulai meningkat di kota-kota pendidikan lainnya seperti Jogyakarta, Bandung, Sumatera Utara, Bukitinggi dan Ibukota negeri ini sendiri, Jakarta. Bahkan hari Senin tanggal 23 September 2019 ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, baik negeri  maupun swasta bersatu mengerubungi  gedung DPR/MPR di Senayan. Hanya karena kepatuhan pada undang-undang  batas waktu demonstrasi saja - maka para mahasiswa itu kemudian membubarkan diri. Namun mereka berencana pada hari-hari berikutnya akan datang kembali dengan massa yang lebih besar dan bergabung dengan rekan-rekan mereka dari Bandung dan sekitarnya.

Teringat kembali aksi-aksi demomstrasi sejak tahun 1964 ketika penulis mulai tinggal di Jakarta. Ada beberapa  peristiwa penting yang membuat para  mahasiswa bangkit keluar kampus menyampaikan protes mereka  atas berbagai keadaan dan menyampaikan aspirasi mereka.

Tahun 1964 dan beberapa tahun berikutnya, kala itu ada dua golongan aksi massa yang saling berhadapan. Pertama kelompok mahasiwa berhaluan Marxis. CCGMI (Central Comite Gerakan Mahasiwa Indonesia) yang didukung ormas-ormas berhaluan komunis lainnya berhadapan dengan massa aksi dari kelompok  berhaluan nasionalis dan agamis seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia), PMKRI (Persatuan Mahasiwa Katolik Indonesia) dan GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia).

Sebenarnya, Bungkarno ketika itu tengah harum namanya dengan keberhasilannya memaksa Belanda menyerahkan Irian Barat ke pangkuan NKRI melalui UNTEA-PBB. Lebih-lebih lagi ketika  berani berkata tidak dan keluar dari PBB lalu berhasil menggalang kekuatan negara-negara berkembang Asia-Afrika dan Amerika Latin dalam CONEFO (Conference of The New Emerging Forces) di mana Indonesia menjadi pemimpinnya. Suatu kebanggaan bagi bangsa ini.

Sayangnya perang dengan Belanda yang dikenal dengan Trikora ketika itu, operasi-operasi menumpas pemberontakan dalam negeri seperti PRRI-Permesta, DI di Jawa Barat, TII di Sulawesi Selatan, RMS di Maluku dan kemudian konfrontasi terhadap British Malaysia telah banyak menghabiskan anggaran negara sehingga kesejahteraan rakyat terabaikan. Harga-harga makin meningkat, inflasi tak terkendali dan kecemasan akan makin meningkatnya pengaruh komunisme membuat kepercayaan kepada Pemerintah mulai menurun. Lebih-lebih ketika tuntutan penurunan harga dan pembentukan Kabinet Ampera dan pembubaran PKI ditolak. Aksi-aksi protes itu kemudian berubah menjadi perlawanan. Padahal, ketika itu sudah terbukti PKI lah yang mendalangi pemberontakan 30 September 1965.

Akasi-aksi mahasiwa yang kemudian menyatukan diri dalam organisasi KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) makin meluas di seluruh Indonesia. Bahkan kemudian menyusul pula puluhan bahkan ratusan organisasi massa aksi lainnya seperti KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia),KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia). KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia), KABI (Kesatuan Aksi Buru Indonesia) bahkan ada KAPBI (Kesatuan Aksi Pengemudi Becak Indonesia).  Selama berminggu-minggu bahkan berbulan hampir-hampir tiada hari tanpa demonstrasi. Kegiatan belajar-mengajar di kampus-kampus di berbagai kota di seluruh Indonesia praktis terhenti total.

Dalam kemelut politik ini agaknya Bung Karno terpengaruh oleh siasat politik kaum Komunis yang berusaha menarik keuntungan. Mereka menggolkan julukan Pemimpin Besar Revolusi untuk Bung Karno. Dukungan tanpa reserve. Lalu presisden seumur hidup dan garis politik Manipol (Manifesto Politik) Bung Karno. Setiap lembaga negara  dan organisasi harus manipolis. Artinya dalam lembaga itu harus ada tiga unsur : Nasionalis, Agama dan Komunis.  Hal ini jelas menguntungkan PKI. Karena di wilayah atau lembaga yang belum ada unsur komunisnya, harus segara diadakan. Termasuk di basis-basis keagamaan yang kuat.

Keengganan pemerintahan Bung Karno yang kala itu disebut Orde Lama  membubarkan PKI, membuat dukungan ABRI yang  dipimpin Jenderal AH. Nasution makin berkurang. Pemberontakan PKI Muso di Madiun tahun 1948 dan kemudian peristiwa G30S/PKI tahun 1965 yang mengobankan sejumlah Pati dan Pamennya, telah membuat ABRI  makin gelisah. Terlebih ketika PKI mengusulkan kepada Bung Karno pembentukan Angkatan Bersenjata  ke 5 di samping  ketiga unsur TNI dan Angkatan Kepolisian ketika itu - yang akan dipersenjatai RRT. Untuk membendung pengaruh PKI itu, Nasution juga bahkan ikut menginisiasi pembentukan Sekber Golkar (Sekretariat Golongan Karya) bagi ormas-ormas kaum Nasionalis dan Agamis. Dan meskipun secara organiatoris  Nasution harus tunduk kepada Presiden selalu Panglima Tertinggi ABRI, namun de facto jajarannya sebagian  lebih condong berpihak pada aksi-aksi demonstran anti pemerintah, khususnya terhadap Kesatuan Aksi Mahasiawa, KAMI. Namun sebagian lagi masih tetap setia dan mendukung Bung Karno tanpa reserve. “Hitam kata Bung Karno, hitam kata………,” begitu kata panglima sebuah kesatuan elit saat itu.

Disaat-saat situasi politik itulah rekan kami, reporter Zaenal Zakze, tewas tertembus sangkur ketika melakukan peliputan demontrasi di Monumen Nasional  depan Istana Merdeka. Padahal malam sebelumnya kami masih bercengkerema  di percetakan koran kami. Sore harinya penulis masih menemukan jaket Harian KAMI yang bertulis “PERS” besar-besar  di dada, telah berlumuran darah dengan lobang besar bekas tusukan di belakang.

Ceritera di atas hendaknya menjadi peringatan bagi Presiden Jokowi beserta para pendukungnya agar jangan mengabaikan suara rakyat yang masih murni. Agar tidak bersandar pada dukungan pihak-pihak yang syarat dengan kepentingan kelompok, apalagi mereka yang diduga telah terkontaminasi suap. Jangan terlena dengan dukungan mayoritas pada Pilpres atau karena prestasi masa lalu atau sebelum kasus revisi UU KPK ini. Karena dukungan besar dapat seketika berubah. Pendukung jadi anti. Bung Karno yang presiden semur hidup harus berakhir hidupnya dengan menyedihkan. Suharto yang berkuasa lebih dari 30 tahun dan pada Pemilu terakhirnya menang telak hampir 100 %, tapi harus mengakhiri jabatannya secara memalukan.

Hemat penulis, sebelum korban jiwa berjatuhan, sebaiknya Presiden Jokowi mengubah pikirannya, membatalkan revisi UU-KPK dengan pengeluarkan PERPU. Alasan bahwa revisi UU KPK itu hasil inisiatif DPR, kurang berdasar. Apalagi sudah demikian banyak informasi yang disuarakan rakyat tentang keanehan-keanehan dalam proses pengesahan nya serta berbagai kontroversi dalam materi revisi undang-undang KPK itu. Sebab kalau tidak, maka  aksi-aksi sekarang bisa makin meluas. Para mahasiswa dan rakyat bisa kembali mengorganisir diri seperti era tahun 60-an  yang kesemuanya itu dapat menghambat program pembangunan pada  masa  pemerintahan kedua mendatang.(Sam Lapoliwa SP, mantan wartawan).

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *