Tuesday, September 24, 2019

Perlunya Mutasi Aparat Keamanan di Wamena


Kerusuhan yang terjadi di Wamena Kabupaten Jayawijaya, Papua hari Senin tanggal 23 September 2019 telah menelan 16 korban jiwa serta 65 orang luka-luka dan dirawat di rumah sakit. Sejumlah bangunan kantor, toko, rumah dan fasilitas umum lainnya hangus dibakar massa.
Aksi anarkis ini menurut informasi berawal dengan adanya seorang guru yang mengeluarkan kata yang melecehkan seorang siswa. Siswa tersebut kemudian memberitahukan kepada teman-temannya yang kemudian menyebarkannya kepada yang lainnya sehingga mereka marah dan melakukan aksi anarkis.
Dapat dibayangkan bagaimana mencekamnya situasi sesudah kerusuhan tersebut. Apalagi dengan banyaknya korban jiwa yang jatuh. Maka untuk menurunkan emosi rakya, menurut hemat penulis, hendaknya satuan-satuan keamaman yang bertugas sewaktu kerusuhan itu dimutasi, digantikan dengan kesatuan-kesatuan lain yang berbeda. Kalau sebelumnya dari TNI/AD digantikan dari unsur-unsur  TNI/AL (Marinir) atau dari TNI/AU (Paskhas).
Lalu para tokoh masyarakat setempat seperti Bupati, Tokoh Adat, Tokoh Agama membuat surat edaran yang menginformasikan penggantian pasukan tersebut. Meminta kepada masyarakat agar tetap tenang, bisa membedakan antara pasukan sebelumnya dengan pasukan baru yang samasekali tidak terlibat  dalam penanganan aksi yang membawa korban itu. Sehingga tidak patut menjadi sasaran kemarahan, karena tidak tahu apa-apa.
Disamping menyebarkan dalam bentuk kertas-kertas selebaran, dilakukan juga seruan-seruan dengan mobil penerangan dan pengeras suara berkeliling kota, khususnya di sekitar tempat terjadinya kerusuhan sebelumnya. Dengan kehadiran kesatuan baru dengan penampilan berbeda yang menyolok itu, diharapkan akan mengurungkan niat warga yang mungkin ingin membalas, khususnya dari keluarga para korban atau teman-teman mereka.
Cara ini pernah dilakukan sewaktu terjadi pembantaian terhadap 9 dari 11 cendekiawan dan tokoh masyarakat Poso menjelang akhir tahun di awal tahun 60-an.  Saat itu memang sedang  ada ketegangan  antara TNI dan pemuda-pemuda GPST (Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah) sehubungan dengan usulan mereka agar GPST diresmikan menjadi pasukan reguler TNI dalam divisi tersendiri tetapi ditolak Pemerintah Pusat.  Kesembilan tokoh sipil tersebut diangkut malam hari dengan truk oleh sepasukan tentara dari Batalyon 502 Brawijaya kemudian dibrondong secara keji di km 22  dari kota Poso.
Peristiwa itu terjadi pada malam hari sebelum besoknya akan dilakukan timbamg-terima tugas ke pasukan baru Batalyon 508 dari divisi yang sama. Kapal mereka baru tiba di pelabuhan. Segera setelah alih tugas,  Bupati Ngitung dan Sekda Pesik di Poso ketika itu bersama komandan pasukan baru berkeliling kota Poso menyeru-nyerukan kepada rakyat  agar tenang, bersedia menerima kehadiran personil-personil pasukan baru dan  mau  bekerjasama mengurus para korban secara layak.
Pada hari itu juga seluruh jenazah dengan kendaraan militer diangkut dan diiringi ribuan warga Poso, pasukan GPST dan TNI  Bn.508  ke Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa Kawua. Di sanalah para korban, diantaranya Direktur SGA Negeri Poso Karawi dimakamkan dengan penghormatan tembakan salvo. Pendekatan ini rupanya berhasil secara efektif untuk mendinginkan suasana. Namun begitu, tidak lama kemudian pasukan inipun diganti  lagi dengan pasukan lain, dari Bn.604 Tanjung Pura Kalimantan.***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *