Wednesday, June 21, 2017

DPR AKAN BLOK ANGGARAN KPK-POLRI THN 2018 ?



      Ya, DPR kabarnya  mau memblok anggaran KPK dan POLRI tahun 2018 . Ini adalah gagasan konyol dari anggota-anggota Pansus KPK yang dibentuk DPR karena kedua institusi negara ini menolak menghadirkan secara paksa Miryan S. Haryani ke sidang Pansus Angket KPK bikinan DPR .
Baiklah. Tapi andaikata itu benar-terjadi, maka apa yang sudah terbayang dapat terjadi adalah :                      
1.      Simpati masyarakat terhadap KPK  dan POLRI  akan makin meningkat. Mungkin mereka akan kembali mengumpulkan dana. Sama seperti dalam pembangunan gedung KPK sekarang. Dulu DPR juga memblokirnya. Akhirnya rakyat bergotong royong mengumpulkan dana sehingga gedung tempat pemberangusan para koruptor itu sekarang dapat berdiri.
Hal yang sama juga akan terjadi terhadap POLRI. Meskipun dalam beberapa hal ada kelemahan, POLRI selama ini telah terbukti mampu menciptakan rasa aman bagi rakyat. Menangkal teroris dan juga ikut memberantas korupsi. Maka tak heran kalau POLRI juga mau diganjal pelaksanaan tugas mereka.
2.      Demonstrasi massa rakyat ke DPR akan makin gencar. Hal ini telah dimulai oleh sekelompok anak-anak muda dari beberapa ormas belum lama ini. Kalau massa makin banyak, mungkin gedung Parlemen di Senayan itu akan terkepung.
Bila ini terjadi, maka sah-sah saja kalau POLRI  tak  mau hadir di sana. Alasannya tak ada biaya operasional. Akibatnya apa kalau POLRI tak hadir ? Ingat, ketika POLRI ditarik seluruhnya dari jalan-jalan di Jakarta tahun 1988, Jakarta terbakar ! Kerusuhan, penjarahan bahkan  tindak kekerasan.
     Kalau itu terjadi di  kompleks DPR biarlah terjadi. Karena mereka memang tidak memerlukan POLRI lagi. Namun masalah anggaran ini mungkin dapat diatasi Pemerintah dengan mengeluarkan Perpu. Karena ini sifatnya darurat.
3.      Dengan maraknya demonstrasi besar-besaran di sekitar kompleks MPR/DPR Senayan maka akan terjadi kebuntuan mekanisme politik karena Parlemen tidak dapat bersidang.
4.      Bila keadaan makin tak terkendali, maka  Presiden sebagai Kepala Negara dapat mengambil kebijakan-kebijakan politis darurat. Misalnya berdasarkan yurisprundensi, memutuskan :
a.      Mengeluarkan Dekrit kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen. Konsekwensinya, Parlemen sekarang berstatus sementara sambil menunggu penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR sesuai UUD 1945. Beberapa hasil amandeman selama ini dianggap sementara orang sebagai kebablasan. Negeri ini makin condong ke arah liberal.
b.      Mengaktifkan kembali Kopkamtib untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Dan bisa dikira-kira sendiri apa yang  mungkin bisa dilakukan oleh Kopkamtib baru ini. Bisa lebih elegan atau malah lebih galak.
             Sebagai konsekwensi dari Dekrit, maka DPR  dan DPD akan dilebur menjadi DPR sementara sambil menunggu DPR  dan  MPR  hasil pemelihan umum. Pembubaran kedua lembaga legislatif ini, hampir pasti akan disambut baik oleh masyarakat melihat tingkah pola mereka selama ini.
Sedikit-sedikit  study banding ke luar negeri. Sedikit-sedikit buat Pansus yang  menyita anggaran besar. Meminta penambahan kursi. Menyelesaikan RUU Pemilu saja tidak beres-beres. RUU kontra teroris tidak jadi-jadi.
Mestinya  selaku wakil rakyat mereka selalu menampung keluhan-keluharan masyarakat. Cepat hadir memantau peristiwa-peristiwa yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Kemudian memperjuangkan solusinya kepada lembaga eksekutif.
Mestinya mereka membuka pos pengaduan masyarakat di Kompleks Gedung Perwakilan Rakyat di Senayan. DPRD membuka yang sama di setiap kantor mereka. Seperti di DKI misalnya. Seharusnya rakyat yang dahulu selalu berbondong-bondong  setiap hari ke Balai Kota bukannya mengerubungi Gubernur Ahok semasa masih aktif. Seharusnya ke DPRD. Bukankah mereka wakil rakyat  yang makan gaji dan menikmati fasilitas dari rakyat ?

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *