Monday, December 17, 2018

MANTAN JENDERAL TAKUT WARTAWAN


Rupanya bukan hanya Napoleon Bonaparte, Jenderal besar  Perancis yang adi daya pada jamannya di abad 18 takut dengan wartawan.

Katanya, “saya lebih takut kepada 10    ( sepuluh ) wartawan daripada 100 devisi tentara musuh”. Pada kesempatan lain dia, Kaisar yang pernah mengharu-birukan Eropa bahkan sempat menduduki ibukota Rusia dan mengirim Daendels yang kejam itu ke Indonesia berujar : “Saya lebih takut kepada 4 suratkabar daripada 1000 bayonet musuh”.

Mengapa, karena wartawan atau suratkabar yang menjalankan fungsinya dengan benar, antara lain selalu mengungkapkan kepada publik segala sesuatu yang tidak sesuai dengan konstitusi, hukum dan norma-norma kepatutan secara rinci.

Dan sebagai seorang kaisar otoriter, dapatlah dimaklumi Kalau Napoleon Bonaparte melakukan itu. Pemberitaan pers dapat menurunkan moral dan semangat pasukan tempurnya.

Tetapi anehnya, ketakutan itu rupanya masih tetap menjangkiti segelintir penguasa atau mantan penguasa “jaman now” Sebutlah Jendral Purn. ER yang Ketua Umum PSSI yang menepis secara kurang bersahabat seorang wartawan televisi yang ingin mewawancarainya sekitar carut-marut di kepengurusan PSSI.

Mantan Panglima pasukan elit ini mempertanyakan hak si wartawan mewancarainya. Dan daripada menimbulkan akibat buruk, sang wartawan mengurungkan maksudnya.

Padahal rakyat Indonesia berhak mendapatkan informasi mengenai kemelut di kepengurusan PSSI ini. Bukankah PSSI membawa-bawa nama Indonesia ?  Merah Putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya selalu dibawa-bawa dilaga sepakbola antar negara ?

Lebih-lebih ketika Louis Mila mantan pelatih PSSI yang digandrungi para anak-latihnya itu membuka di mata dunia aib  management sepakbola Indonesia yang “sangat buruk. Padahal para pemainnya bagus-bagus. Ini sangat memalukan. Dan mestinya Ketua PSSI harus memberikan konfirmasi kepada rakyat Indonesia.

Dan sayangnya lagi, tak lama kemudian seorang calon presiden yang juga mantan panglima pasukan elit menunjukan antipatinya pada wartawan. Malah dia menganjurkan agar masyarakat tidak perlu lagi meladeni wartawan. Karena wartawan dituduhnya  tidak lagi menjalankan fungsi mereka sesuai kode etik mereka. Padahal, dalam UU Np.40 Th.1999 tentang Pers sudah ada cara-cara untuk menanggapi pelanggaran kode etik pers.
Tapi hati-hati. Wartawan dan perusahaan media massa itu mempunyai organisasi profesi. Ada PWI (Persatuan Watawan Indonesia ), ada AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia) dan beberapa lagi. Perusahaan suratkabar ada SPS (Serikat Penerbit Suratkabar). Kalau mereka balas menginstruksikan semua anggotanya untuk  memblokir semua kegiatan kampanye pihak yang menyakiti mereka, apa akibatnya. ***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *