Wednesday, December 26, 2018

TNI/Polri Diminta Mundur ?


    Dengan alasan agar rakyat dapat merayakan Natal dengan tenang, Gubernur  Papua Lukas Enembe dan Ketua DPRD Provinsi Papua Yunus Wonda menjelang Natal yang lalu meminta agar TNI/Polri mundur sementara dari Kabupaten Nduma. 

Bisa dimaklumi bagaimana serba salahnya posisi seorang pemimpin sipil yg berada diantara dua kelompok bersenjata yg secara bergantian menguasai wilayahnya.
Ketika satu kelompok ditarik atau mengundurkan diri dari suatu wilayah, maka kelompok  lawan akan masuk menguasainya.  

Sewaktu kelompok pertama berkuasa, mereka minta agar pemimpin sipil dan rakyat patuh kepada mereka. Demikian pula sebaliknya ketika kelompok bersenjata lain berkuasa. Itulah yang terjadi ketika terjadi konflik bersenjata dahulu di beberapa daerah di Sulawesi Tengah.
Dalam posisi demikian, biasanya para pemimpin sipil di daerah konflik mengambil posisi aman, yaitu politik “berkepala dua”. Artinya, pemimpin sipil akan tunduk kepada kelompok bersenjata yang tengah berkuasa. Tidak bisa berpihak secara mutlak kepada satu pihak, kecuali kalau kekuatan mereka benar-benar sudah dapat menjamin keamanan secara efektif dan berkesinambungan.

Mungkin dilema inilah yang dihadapi oleh para pemimpin sipil di Papua antara kekuatan KKB dan TNI-POLRI yang berupaya melakukan pengejaran.
Namun, kebijakan Gubernur dan Ketua DPRD Papua yang meminta TNI/POLRI mundur, adalah suatu hal yang tak masuk akal. Sekalipun alasannya untuk ketenangan ibadah dan perayaan Natal.

Mestinya Gubernur dan Ketua DPRD memahami akan doktrin militer. Kata mundur, adalah satu kata yang paling tidak disukai pihak militer disamping kata menyerah. Apalagi dengan alasan untuk ketenangan perayaan Natal. Tekesan, seolah-olah TNI/Polri lah yang selama ini membuat onar di Papua. Padahal, Polri yang didukung TNI sedang melakukan upaya penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok bersenjata yang belum lama ini memberondong 31 warga sipil yang tengah mengerjalan jembatan jalan trans Papua.

Kalau saja Gubernur dan Ketua DPRD meminta bantuan para tokoh informal yang netral seperti rohaniwan dan kepala suku, misalnya mengupayakan kesepakatan antara kedua pihak untuk mengadakan “gencatan senjata” sementara selama perayaan Natal dan Tahun Baru, mungkin masih dapat diterima. Tidak ada yang kehilangan muka, dan semuanya dapat mengikuti ibadah dan perayaan dengan damai.Kebijakan yang demikian sering terjadi dalam masa perang, kesepakaan antar pemimpin-pemimpin lokal yang sedang berperang, bahkan semasa Perang Dunia II.
Satu hal lagi. Tindakan kelompok besenjata yang katanya sedang memperjuangkan kemerdekaan, dengan menyerang dan membunuh 31 warga sipil tak bersenjata yang sedang mengerjakan jalan merupakan tindakan bodoh. Apalagi kalau bermaksud untuk mendapatkan simpati dan dukungan internasional.

Akibat perbuatan itu, bukannya dukungan yang didapatkan tetapi celaan dan kutukan. Karena mereka telah melakukan kejahatan kemanusiaan yang hanya dilakukan para teroris.
Gubernur Lukas Enembe selaku wakil Pemerintah Pusat di daerah, mestinya berkonsutasi dahulu dengan Kapola dan Pangdam sebagai penanggung jawab ketertiban dan keamanan setempat  sebelum mengeluarkan pernyataan yang kontroversial itu. ***



No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *