Saturday, December 26, 2020

ETIKA MEMASANG POHON NATAL

 Hari Natal tanggal 25 Desember 2020 baru saja berlalu. Namun pohon-pohon terang di rumah-rumah keluarga umat Kristiani dan gereja-gereja bahkan juga di sejumlah fasilitas umum,  masih dibiarkan berdiri. Paling tidak sampai satu minggu sesudah tahun baru.

Konon, Pohon Terang awalnya  adalah kreasi dari Marthen Luther, uskup Katolik Jerman yang kemudian memproklamasikan pembaharuan gereja melalui  deklarasi protesnya di pintu gerbang gereja istana Witterberg. Dia pakukan daftar protesnya ke pintu masuk gereja pada tanggal 31 Oktober 1517 karena keesokan harinya jemaat akan berkumpul disitu dalam pesta keagamaan "Segala orang Kudus". 

Kemudian ia mengundang para cerdik pandai untuk mendiskusikan ke-95 dalilnya, khususnya tentang penolakannya mengenai penghapusan siksa akibat dosa - yang menurut pemahaman umum saat itu dapat dibayar dengan amal atau uang. Menurutnya, keselamatan hanya terjadi atas kasih karunia Tuhan semata. Bukan oleh amal perbuataan manusia. Makanya ia sering dijuluki  Bapa Reformasi gereja. Dan jemaatnya disebut  Gereja Reformasi atau Gereja Protestan.

 

Belum kita temukan adanya uraian resmi tentang makna Pohoh Terang ini serta bagian-bagiannya - termasuk dari Marthen Luther sendiri. Tapi kalau kita baca Kitab Injil, kita  akan temukan sering sekali Yesus Kristus memberi perumpamaan yang menggambarkan diriNya sebagai “Pohon” dan “Terang”.

Sebagai pohon, Dia adalah “pohon kehidupan”. Cabang dan carang atau ranting-rantinya dilambangkan sebagai para murid dan pengikutNya. Setiap cabang, carang atau ranting harus menghasilkan buah-buah iman dan kebaikan. Yang tidak memberikan buah-buah yang baik atau busuk harus dipotong dengan kampak dan dibuang ke dalam api.

Bp. J.K.Tumakaka (alm.) sebagai seorang fungsionaris di Majelis Synode GPIB dahulu pernah mengibaratkan cabang dan carang-carang pohon itu sebagai bermacam-macam organisasi dan denominasi dalam gereja di dunia ini. Dalam pembekalan calon anggota majelis gereja saat itu, dikatakan, meskipun ada beberapa perbedaan dalam pemahaman, tetapi semuanya berpangkal pada satu pohon, yaitu Yesus Kristus. Setiap cabang yang lepas dari pohonnya akan mati dan setiap carang atau ranting nanti akan diuji dengan melihat buah-buahnya.

Yesus mengumpamakan diriNya sebagai terang, terang dunia. Pembawa kebenaran yang menerangi isi dunia ini. Di mana makin banyak umat manusia sudah tak dapat lagi membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Seperti tak tahu lagi , mana tangan kiri dan mana tangan kanan. Para murid atau para rasul serta jemaat yang disebutNya sebagai “anak-anak terang”, harus mengabarkan kebenaran itu ke segenap umat manusia.

Pada pohon terang, terang  dilambangkan dengan lilin-lilin kecil atau lampu warna-warni yang memancarkan cahaya dan keindahan. Sumber “terang” itu harus diletakkan ditempat tinggi sehingga mudah terlihat dan dapat menerangi kegelapan di sekitarnya. Tidak ditaruh di bawah gantang. Kalau lampunya mati, tak bersinar yang artinya tak bersaksi lagi memberitakan kebenaran,  maka dia tak berarti lagi. “Anak-anak terang” yang tak menerangi sekitarnya atau padam, tak lagi berguna akan dibuang. Sama seperti garam, kalau sudah tawar, tak lagi berguna dan harus dibuang.

Ornamen-ornamen lainnya seperti rumbai-rumbai  hiasan adalah tambahan untuk melambangkan kemuliaan Tuhan seperti diperlihatkan Tuhan kepada para gembala di atas langit padang Efrata oleh kehadiran rombongan malaikat pemuji yang menyanyikan “Kemuliaan Bagi Allah di tempat maha tinggi dan Damai Sejahtera di Bumi bagi orang  yang berkenan kepadaNya”.

Selain batang, cabang dan lampu-lampu penerang, unsur penting lainnya yang mestinya sealu ada di setiap pohon terang adalah buah-buah yang berwarna indah. Melambangkan perbuatan-perbuatan yang baik, buah Roh, seperti kasih, sukacita, damai sejahtera, kesetiaan, lemah lembut dst.

Jadi kalau ada yang mengganti atau menambahkan lambang-lambang  buah Roh (perbuatan baik) dengan sandal-sandal, kue atau barang-barang lainnya yang tak bermakna alkitabiah, itu adalah suatu perbuatan kurang etis oleh orang yang kurang paham.  Mestinya yang sudah paham - mengingatkan atau mencegah hal ini agar tidak terjadi sehingga tidak menjadi batu sandungan. Suatu kesempatan baik memberitakan Injil yang benar.***

 

 

 

 

 

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *