Monday, December 13, 2021

Oh Yerusalem, Kota Mulia, Hatiku Rindu ke Sana…

Ada kebiasaan ibu pendeta kami, yang juga Ketua Jemaat, sebelum mengakhiri khotbahnya,  melantunkan kidung pujian sendirian di atas mimbar diiringi orgen. Senentara kami, Jemaat, hanya duduk manis di bangku seperti anak sekolahan  menyimak guru yang sedang mengajari mereka.

Dan pada ibadah Perjamuan Kudus yang baru lalu, ibu Pendeta menyanyikan reffrein Kidung “Oh Yerusalem” yang diulang dua kali. Beberapa jemaat memang nampak menggerak-gerakan tapak kakinya atau menangguk-angguk perlahan mengikuti irama lagu, tapi tak lebih dari itu.

Mendengar itu, hati penulispun ikut terharu. Karena pada sore itu, keluarga dan sanak famili kami, mungkin sedang atau barangkali baru saja selesai menurunkan jenazah sepupu, sahabat kental sepermainan saya semasa kecil ke tempat peristrahatannya terakhir untuk sementara waktu di salah satu TPU di Jakarta. Almarhum juga pernah jadi teman sekerja dan sepenanggunggan ketika koran tempat kami bekerja dulu di Jakarta diberangus oleh penguasa. Malam sebelumnya saya ikut memandikan jenazah saudara dan sahabat terkasih seusia ini. Dan pesan-pesan dukungan doa melalui WA banyak yang menyebut  “sudah kembali ke Yerusalem Baru” dan  kidung “Oh Yerusalem” ini.

Kembali pada topik awal tulisan ini, mungkin sudah tiba waktunya gereja-gereja yang sering disebut gereja tradisionil memberi keleluasaan terbatas kepada jemaatnya dalam menyatakan ekpresi sukacita mereka ketika memuji Tuhan. Seperti bertepuk-tepuk tangan,  menadahkan tangan bahkan berdiri atau yang lainnya tanpa mengganggu konsentrasi sesama jemaat di kiri-kanannya. Tak usah malu-malu dibilang ikut-ikutan cara gereja kharismatik atau jemaat oikumene.

Di jemaat asal kami di Sulawesi Tengah dahulu, jemaat tak pernah ada yang melihat buku nyanyian atau teks lagu ketika menyanikan kidung pujian dalam ibadah. Semua, hati dan pikiran terkonsentrasi  tertuju kepada Tuhan karena lagunya telah dihafal. Tak ada yang terpaku pada teks, apalagi bila lagunya baru. Padahal, menurut penulis saat  ibadah bukan tempatnya untuk belajar tetapi semata-mata untuk menyimak firman Tuhan dan memuji dengan sepenuh hati dan pikiran.

Karena itu barangkali sudah saatnya para pembina jemaat di bidang musik dan puji-pujian rohani membiasakan jemaat menghafal kidung pujian yang dapat dibawakan oleh semua anggota jemaat. Dimulai dari kidung pujian yang sudah populer dinyanyikan dan dikuasai jemaat. Tidak hanya menekankan pada paduan suara yang memerlukan latihan berhari-hari,  entah untuk ikut Pesparawi. Atau untuk dinyanyikan hanya oleh kelompok paduan suara itu dalam satu dua kali ibadah kemudian lama tak terdengar lagi. Tidak memasyarakat pada  semua jemaat untuk dinyanyikan secara rutin. ***

 

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *