Thursday, July 19, 2018

PENCOPOTAN JABATAN ALA ANIES BASWEDAN


      Kalau benar seperti yag diberitakan berbagai media masa sekitar cara Gubernur DKI Jakarta sekarang Anies Baswedan mencopot dan mengganti para pejabatnya – memang sungguh memprihatinkan ! Para abdi negara yang jam terbang mereka cukup panjang di Pemda DKI diperlakukan seperti memindahkan hewan saja.
     Sebagai mantan Auditor Kepegawaian Departemen Dalam Negeri yang dipekerjakan selama tujuhbelas tahun di Pemda DKI, sejak menjelang akhir era Gubernur Ali Sadikin sampai masa Gubenur Sutyoso, belum pernah saya menemukan perlakuan sedemikian buruk.
   Dalam pembinaan pegawai negeri sipil (sekarang ASN), ada tiga hal yang selalu menjadi sasaran audit. Pertama  Administrasi Kepegawaian, kedua, disiplin kepegawaian yang dahulu diatur dalam PP 30/1980 (sekarang PP 53/2010). Ketiga, kesejahteraan pegawai.
      Dalam  hal Administrasi Kepegawaian, ada sekitar 20 buku yang harus ditela’ah. Mulai dari prosedur perekrutan pegawai, pengangkatan, pelatihan, pemindahan/mutasi pegawai, hak-hak pegawai, disiplin pegawai, hak-hak pegawai seperti cuti, hak gaji/tunjangan, hak peningkatan karier, hak pensiun sampai pemberhentian. Semua ada tata caranya.
   Kendala Auditor Kepegawaian dalam upaya pembinaan tertib administrasi Kepegawaian lembaga pemerintahan , sering kali berhadapan dengan kondisi ketika ada penggantian pejabat pimpinan baru yang menangani bidang kepegawaian.
    Karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman pejabat yang baru pada bidangnya, menyebabkan administrasi kepegawaian yang tadinya dengan susah payah dapat ditertibkan dan dirapihkan, belakangan menjadi acak-acakan lagi.
    Kembali pada pemindahan atau mutasi pegawai, ada protap (prosedur tetap) yang senantiasa dilalui. Umumnya Pejabat yang berhak memindahkan/memberhentikan sesuai batas kewenangannya menerbitkan Surat Keputusan. Ada tembusan yang harus disampaikan kepada pegawai yang bersangkutan.  Dalam SK pemindahan itu ada setidaknya empat hal yang harus secara tegas dinyatakan : Jabatan lama dan Jabatan baru dan lokasi kerja, terhitung mulai kapan.
    Dalam SK itu juga ada pertimbangan alasan pemindahan/mutasi, entah menyangkut disiplin, peningkatan karier atau kebutuhan organisasi.       
      Manfaatnya bagi pegawai adalah agar ia boleh menyimak karena itu menyangkut hak dan masa depan kariernya. Kalau ada yang dipandangnya tidak benar, ia bisa membuat pengaduan. Entah ke atasan dari atasan langsungnya atau ke Inspektorat sebagai lembaga pengawas eksternal di unit kerjanya.
    Hal ini dimungkinkan, karena dalam UU Kepegawaian disitu ada rincian hak,  kewajiban, dan larangan dari setiap PNS (ASN). Kepada atasan, ada larangan untuk tidak berbuat sewenang-wenang kepada bawahan.
    Menyangkut alasan mutasi atau pemberhentian dari jabatan karena disiplin atau kinerja, dahulu ada DP3 (Daftar Penilaian Pekerjaan Pegawai) yang harus diisi atasan langsung semua pegawai setiap tahun. Memuat 8 (delapan) unsur penilaian kinerja dengan penilaian kurang, sedang, cukup, baik dan Amat Baik.  Ke delapan unsur penilaian itu mencakup : Kesetiaan pada Pancasila, kepemimpinan, kecakapan, inisiatif, ketaatan dan kerjasama.  Semua  dinyatakan dalam angka antara 50 s/d 100.
   Pesyaratan untuk promosi jabatan dan kenaikan pangkat, nilai rata-rata harus baik dan tidak ada unsur bernilai kurang.
   DP3 ini harus diandatangani oleh Atasan Langsung yang menilai, disetujui dan ditandatangani  pegawai yang dinilai lalu ditandatangai  oleh  Atasan dari atasan pegawai yang menilai.
     Nilai DP3 sangat menentukan peningkatan karier tiap pegawai. Karena itu, bila ia tidak terima penilaian atasannya, ia boleh menuliskan keberatannya pada ruang yang disediakan sebelum disampaikan ke atasan pegawai penilai.
   Maka taklah mengherankan kalau sebagian Walikota dan pejabat Pemda DKI  mengalami cara mutasi seperti yang diberitakan, merasa diperlakukan semena-mena, tidak manusiawi.
  Bahwa sikap cenderung otoriter dan kaku dari  Gubernur  Anies Baswedan dalam memutasi pejabatnya, mulai nampak ketika ia mencopot Direktur Dharma Jaya, seorang professional yang sebelumnya sukses di perusahaan swasta. Personal Relation kurang diperhatikan ! Sampai-sampai perempuan yang ketika itu dibebani tanggung jawab  menyalurkan daging murah untuk warga miskin Jakarta harus menangis di hadapan para pegawainya.
     Ahok gubernur pendahulu Anies terkenal kasar dalam tutur katanya kepada pegawai. Tapi ungkapan kekecewaannya diutarakan secara langsung pada yang berangkutan tanpa tedeng aling-aling. Dengan alasan-alasan yang jelas. Tidak diam-diam di belakang, cukup dengan telepon, SMS  atau WA.
    Ketika harus memutasikan, Ahok tetap melakukannya sesuai protap. Penerbitan SK, penyerahan SK, undangan Serah terima jabatan. Jelas status selanjutnya dari pegawai yang dicopot jabatannya.
    Maka tidaklah heran pula kalau Mendagri mengkritisi cara Gubernur DKI kali ini meskipun diakui memutasi pejabat DKI memang wewenangnya.
        Tidak heran  pula kalau Ketua Komisi ASN Sofyan Effendi menganggap pelantikan pejabat baru DKI tidak sah,  melanggar ketentuan PP. 53/2010 tentang Disiplin PNS. Ia akan mengajukan rekomendsi kepada Mendagri dan Kemenpan RB untuk meluruskan cara pemutasian tersebut
     Para pegawai yang merasa dirugikan, tak mungkinlah terlalu lugas memprotes kebijakan atasannya, karena nasib karier mereka tetap tergantung pada atasan mereka itu. Seperti juga pada PP 53/2010 ataupun dahulu  PP 30/1980, maupun AD/ART Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) memang ada kewajiban pegawai untuk taat pada perintah atasan.
   Memprotes kebijakan atasan oleh bawahan dapat dianggap pelanggaran disiplin oleh atasannya. Dan itu sudah berarti menjadi “kartu mati” buat karier pegawai yang bersangkutan. Padahal alasan keberatannya mungkin dapat dibenarkan.***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *