Thursday, February 6, 2020

Pemeritah Harus Tegas Tegakkan Kebebasan Beribadah


Menjadi pemeluk agama  minoritas di suatu negara yang tingkat solidaritas para penguasa dan masyarakatnya masih rendah, tidaklah mudah. Demikian pula di tanah air kita NKRI ini. Meskipun konstitusi Indonesia telah dengan secara tegas menjamin kebebasan bagi setiap warganegara menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama dan kepercayaannya, namun faktanya masih saja ada tindakan-tindakan intolerat. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Desa Sari Agung, Petalongan Kabupaten Indragilir Hikur, Riau, jemaat-jemaat yang sedang beribadah dibubarkan aparat satpol PP atas perintah Wakil Bupati.

Dalam tayangan itu nampak jemaat dan ibu-ibu yang jatuh histeris yang memohon agar  mereka dapat menyelesaikan  ibadah mereka, tetapi tidak digubris. Di situ nampak  juga aparat yang berseragam polisi turut menyaksikan. Tapi para perempuan yang menghiba-hiba minta tolong tak juga diindahkan. Sayangnya, ketika tayangan itu viral, seorang pejabat pemerintah pusat hanya mengomentari “itu urusan Daerah”. Padahal ini masalah pelanggaran konstitusi UUD 1945 dan pelanggaran Piagam Pernyataan Hak-hak Manusia PBB (The Universal Declaration of Human Rights)1948 yang juga sudah diratifikasi Indonesia. Sebuah ibadah dibubarkan Satpol PP !!. Setahu penulis, sesuai ayat (3) Pasal 10 UU  No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, urusan agama adalah salah satu dari enam urusan yang tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat dan tak dilimpahkan Negara pada daerah Otonom.

Nampaknya ada yang salah dengan peraturan pelaksanaan di bawahnya ! Dan memang ada. Khususnya SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Agamas dan Menteri Dalam Negeri No.8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah. Agaknya SKB inilah yang selama ini menjadi acuan mereka yang menghambat kebebesan beribadah. Telah dengan sengaja atau tak sengaja disalahtafsirkan oleh kaum intolerant. Menjadi tidak saja tentang pendirian rumah ibadah tetapi juga telah melenceng kesana-kemari.  Diantaranya melarang beribadah seperti yang terjadi di Dusun Sari Agung, Petalongan, Indragilir Ilir, Riau tanggal  25 Agustus 2019 tersebut.

Maka ada sedikit harapan ketika Menkopolhukam Mahfud MD mengisyaratkan akan meninjau kembali SKB tersebut. Apalagi saat ini figur Presiden, menteri  Menkumham, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama adalah tokoh-tokoh yang tak diragukan  lagi penghayatan mereka terhadap Pancasila dan UUD 1945 khususnya tentang hak kebebasan beribadah bagi setiap warganegara. Ditambah lagi dengan dominasi PDI Perjuangan san para pendukung pemerintah di DPR, ada peluang ketentuan tentang peribadatan ini dapat diatur dengan Undang-Undang yang benar-benar adil bagi setiap warganegara tanpa membeda-bedakan.

Intinya pemerintah dan DPR membuat undang-undang yang mewajibkan pemerintah menyediakan tempat ibadah bagi semua pemeluk agama sesuai kebutuhannya di sekitar lokasi tempat tinggalnya. Bebas beribadah di mana saja sesuai ajaran agamanya sejauh tidak mengganggu warga yang lain.

Sama dengan pengajian atau tasyakuran di rumah-rumah, umat Kristiani juga hendaknya tidak lagi diganggu ketika melakukan ibadah rumah tangga atau persesekutuan doa di rumah-rumah jemaatnya. Bahkan juga ketika kebaktian padang, meniru kebiasaan Yesus (nabi Isa) yang mengajar, menyembuhkan dan berdoa di bukit-bukit, pinggir pantai dan rumah pengikutNya. Apalagi  di rumah ibadah yang juga disebut Rumah Do’a.

Sekarang bukan waktunya lagi di lapangan dilakukan angket-angketan meminta persetujuan  warga.  Sekali Pemerintah dan DPR menetapkan Undang-Undang,  setiap warganegara negeri ini harus mematuhinya. Dan pemerintah berkewajiban menjalankan dan menegakkan  hukum itu. ***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *