Friday, March 13, 2020

Alternatif Kedua Penyelesaian KKB di Papua (II)

Ketimbang penyelesaian secara militer atau kekerasan, tentu lebih dikehendaki penyelesaian secara damai. Tanpa kekerasan dan tanpa ada yang merasa kehilangan muka atau “win-win solution”. Memang mudah diucapkan tapi sulit diwujudkan. Namun kita barangkali dapat menimba pengalaman dari penyelesaian damai pasukan bersenjata GPST (Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah) awal tahun 60-an. Ketika propinsi Sulawesi Utara-Tengah terbentuk tahun 1957, tiba-tiba saja Gubernur Sipil Sumual dan Gubernur militer Mayor Somba mendeklarasikan pembentukan organisasi Permesta di lapangan Sario Manado terpisah dari NKRI. Mereka kemudian mendukung PRRI di Sumatera Barat yang sudah pula mengumumkan pemisahan diri dari NKRI. Para tokoh dan pemuda-pemudi Sulawesi Tengah menentang pemisahan itu. Mereka masuk hutan mempersiapkan perlawanan terhadap tentara pendudukan Permesta. Tanggal 5 Desember 1957 mereka membentuk organisasi perjuangan Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah. Sejumlah mantan bintara dan perwira ex. KNIL dahulu ikut aktif memberikan pelatihan militer bahkan kemudian didaulat menjadi komandan. Serangan demi serangan serta penghadangan dilakukan. Karena mendapat dukungan rakyat, khususnya logistik, dalam waktu tidak lama seluruh wilayah Sulawesi Tengah dapat dibebaskan. Banyak senjata, baik ringan maupun senjata berat modern asal import seperti basoka dan watermantel berhasil direbut. Ketika tentara Pusat (TNI) yang sebelumnya sibuk dengan operasi di Sulawesi Utara, Sumatera Barat dan Riau mendarat di Poso, semua wilayah Sulawesi Tengah sudah aman dikuasai GPST. Hanya kemudian terasa ada dualisme penguasa militer. TNI meminta agar tanggungjawab keamanan diserahkan kembali ke TNI sebagai aparat resmi. Tetapi para komandan GPST yang didukung tokoh-tokoh masyarakat mengusulkan agar GPST diresmikan menjadi divisi baru dalam TNI. Usul ini ditolak sehingga berujung pada ketegangan bahkan konflik-konflik bersenjata. Pasukan demi pasukan TNI dan Brimob dikirim untuk coba menundukkan pasukan GPST yang ketika itu dikomandani Herman Parimo yang legendaris. Tetapi setiap kali habis operasi, pasukan TNI itu pulang dengan menbawa jenazah rekan mereka yang jadi korban. Itu bisa terjadi, bukan saja karena rakyat tetap mendukung memberi informasi tentang gerakan pasukan, tetapi juga karena pemuda-pemuda GPST lebih menguasai medan. Bagi pendatang baru memang cukup berat, medan yang terdiri dari hutan lebat, pegunungan, lembah dan sungai besar-besar yang dihuni banyak buaya. TNI yang ketika itu berasal dari Bn. 502 Brawijaya menjadi frustrasi. Puncaknya, ketika mereka akan digantikan kesatuan lain dari Bn. 508. Mereka mengambil paksa 9 (sembilan) dari 11 tokoh cendekiawan Poso yang sudah ditahan sebelumnya dengan alasan akan diadili di Jakarta. Tapi apa yang terjadi. Malam itu para cendekiawan ini, salah satunya Direktur SGA Negeri Poso Karawi, diangkut dengan truk ke arah Tentena dan kemudian dibantai dan dibuang ke jurang, 22 km dari kota Poso. Untunglah Bupati Poso saat itu, Ngitung, dan Komandan pasukan Bn.508 yang telah mulai pengambil alih kepemimpinan TNI cukup bijaksana. Pagi berikutnya, dengan menggunakan mobil pengeras suara mereka berkeliling kota Poso menyerukan rakyat agar tidak tersulut emosi. Tetap tenang dan bisa membedakan antara satuan Bn 508 dengan pasukan yang baru mereka gantikan. Pagi itu berbaurlah para anggota GPST, rakyat dan pasukan TNI dari Bn. 508. Mereka bersama-sama mengantarkan dan memberi tembakan penghormatan kepada para jenazah di pemakaman Taman Pahlawan Kusuma Bangsa Kawua. Saat BN.508 digantikan kesatuan TNI Bn.604 Tanjungpura dari Kalimantan, suasana keamanan makin konduksif. Entah dari siapa penggasasnya sehingga dicapai kesepakatan. Para pemuda GPST akan diintegrasikan ke dalam kesatuan-kesatuan TNI setelah melalui seleksi. Bagi yang tidak lulus seleksi atau yang tidak ingin melanjutkan karier selanjutnya di militer, ditawari mengerjakan proyek-proyek besar infrastruktur. Sadar bahwa jalan-jalan di wilayah Sulawesi Tengah khususnya Kabupaten Poso ketika itu memang sangat buruk, maka tawaran itupun diterima pula. Bahkan penulis pernah ikut terlibat dalam pekerjaan proyek-proyek itu karena diajak sepupu yang menjadi pengawal pribadi Wakil Komandan GPST. Ruas jalan antara kota Pandiri ke arah Tentena adalah contoh hasil karya anak-anak GPST. Dari ceritera diatas, mungkin saja cara penyelesaian ini dapat diterapkandi Papua dan Papua Barat. Penulis yakin, para putra Papua yang masih di hutan-hutan akan senang bila dapat diterima menjadi anggota tentara sungguhan dalam TNI setelah melalui seleksi persyaratan fisik dan kesehatan. Bagi yang tidak lolos seleksi, akan dengan senang hati pula bila mereka diberi kepercayaan mengerjakan sendiri sebagian proyek-proyek infrastruktur yang kini sedang digalakan di Papua. Proyek di tanah leluhur mereka sendiri, dikerjakan sendiri dan manfaatnya dapat dinikmati oleh mereka sendiri pula. Tentu saja perlu didampingi para konsultan yang ahli. Proyek itu kelak akan menjadi kebanggaan, baik mereka maupun keturunan mereka. (Sam Lapoliwa).

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *