Monday, March 2, 2020

TIM, Riwayatmu Dulu..

Dulu, sebelum koran kami, Harian Kami diberangus rezim Suharto tahun 1974, sedikitnya dua kali seminggu saya pergi nonton acara kebudayaan di Taman Izmail Marzuki dan diminta Goenawan Mohamad, redaktur kebudayaan kami saat itu untuk mengkritisinya. Sekarang, alat-alat berat terus-menerus memporak-porandakan bangunan-bangunan di Pusat Kesenian Jakarta yang berlOkasi di Jalan Cikini Raya 73 itu. Termasuk bangunan Planetarium didekatnya, tempat yang biasanya ramai dikunjungi anak-anak sekolah untuk lebih memahami ilmu perbintangan yang mereka dapatkan di sekolah. Cukup banyak sebenarnya fasilitas kesenian yang disediakan di situ. Di sini terletak Institut Kesenian Jakarta. Selain itu, Ada enam teater modern, balai pameran, galeri, gedung arsip, dan bioskop. Acara-acara seni dan budaya dipertunjukkan secara rutin di pusat kesenian ini, termasuk pementasan drama, tari, wayang, musik, pembacaan puisi, pameran lukisan dan pertunjukan film. Berbagai jenis kesenian tradisional dan kontemporer, baik yang merupakan tradisi asli Indonesia maupun dari luar negeri. Disitu dipentaskan bermacam-macam acara. Mulai dari drama, pertujukan dan diskusi film, pementasan drama seperti Apa yang kau cari Palupi, sampai The Twelve Angrymen atau yang diindonesiakan dengan Laki-laki Pemberang dan dibawakan para dramawan top Arifin C.Nur dan kawan-kawan. Panggung TIM semakin marak dengan karya-karya eksperimen yang sarat ide. Ini ditandai oleh sejumlah kreator seni yang sempat membuka peta baru di atas pentas. Di antaranya Rendra, pimpinan Bengkel Teater Yogya dari kampung Ketanggungan Wetan Yogyakarta. Menyusul pentas drama klasik Yunani "Oedipus Rex", "Menunggu Godot", "Hamlet" dan karya pentas mini kata lainnya. Lalu Koreografer senior, Bagong Kusudiardjo, Huriah Adam, pelukis Affandi, Trisno Soemardjo, Hendra Gunawan, Agus Djaya, Oesman Effendi, S. Sudjojono, Rusli, Rustamadji, Mustika mengisi TIM dengan karya-karya mereka yang indah dan artistik. Tak hanya itu. Sering juga ada Orkes Kroncong, sendratari dan Lenong. Lenong Betawi dalam pakaian khas jaman baheula seperti pakaian hitam urakan dengan golok panjang di pinggang, serta jurus-jurus silat dan dialog mereka yang polos sedikit kasar sungguh lucu dan menarik untuk ditonton. Lakon seperti Jampang Jago Betawi, Si Pitung yang membela rakyat kecil dari penindasan para kapitan yang diperalat kompeni masih tetap membekas dalam ingatan. Seniman-seniman Betawi pada jaman itu, di bawah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, mendapatkan kesempatan yang cukup besar untuk berkreasi. Maka mencuatlah seniman-seniman Lenong Betawi seperti Bokir, Anen, Nasir, mpok Siti, Nirin dan lain-lainnya. Koran-koran setiap harinya memuat acara-acara di TIM sehingga kesinambungan acara di pusat kesenian itu tetap terjaga dengan pengunjung tetap ramai. Sekarang, Pusat Kesenian Jakarta di areal seluas 9 ha itu mulai diratakan dengan tanah oleh
Gubenur Anies Baswedan. Konon untuk direvitalisasi menjadi pusat kesenian bertaraf internasional dengan anggaran Rp 1,8 trilyun. Tapi gagasan yang dilakasanakan melalui BUMD PT.Propertindo (Jakpro) itu diragukan oleh berbagai pihak. Terutama oleh para seniman. Pertama, karena para seniman tak pernah dilibatkan. Baik dalam perencanaan, apalagi pelaksanaan. Kedua, rencana untuk membangun hotel bertingkat bintang lima di situ. Ditambah lagi dengan adanya ijin kepada BUMD itu untuk boleh mengkomesilkan segala fasiltas di situ. Para seniman mencurigai, gagasan revitalisasi itu lebih cenderung ke komersialisasi daripada untuk memajukan kesenian. Peran para seniman akan tersingkir. Bagaimana tidak. Pengelolanya sebuah badan usaha yang kerjanya melulu hanya mencari untung. Kalau ditelusuri, latar belakang pendidikan Gubernurnyapun lebih banyak di bidang ekonomi. Padahal pada awal pendiriannya, pengelolaan TIM yang namanya diambil dari nama Ismail Marzuki tokoh seniman asli Jakarta itu, diserahkan sepenuhnya kepada para seniman, melalui organisasi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sedangkan DKJ itu sendiri dibentuk melalui sebuah formatur yang anggotanya juga terdiri dari para seniman : Mochtar Lubis, Asrul Sani, Usmar Ismail, Rudy Pirngadi, Djajakusuma, Gajus Siagian dan Zulharman Said yang ketika itu juga menjadi Pemimpin Umum suratkabar Harian Kami.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *