Friday, March 13, 2020

Alternatif Penyelesaian KKB di Papua (1)

Berita-berita mengenai jatuhnya korban anggota Polri, TNI dan warga biasa oleh gerombolan KKB (kelompok kriminal bersenjata) di Tanah Papua tentu saja membuat setiap warga Indonesia yang cinta NKRI merasa gemas. Apalagi bagi para mantan sukarelawan Trikora, termasuk penulis. Saat masih di SMA dahulu, kami sempat dilatih kemiliteran berminggu-minggu. Baris-berbaris, latihan bela diri, perkelahian sangkur sampai teknik dan latihan tempur. Tinggal menunggu dipersenjatai untuk diterjunkan ke daerah operasi melawan pasukan Belanda di Tanah Papua yang disebut Irian Barat ketika itu. Hanya pengumuman PBB saja yang menghentikan semuanya. PBB mengumumkan penghentian tembak-menembak karena Belanda diberitakan sudah bersedia menyerahkan kedaulatan atas Irian Barat ke pangkuan RI melalui UNTEA (United Nations Temporary Executive Aauthority). Operasi Mandala dibubarkan. Lalu mereka yang berpikiran pendek bertanya, mengapa Pemerintah dan TNI sekarang tidak menggempur saja gerombolan pengacau KKB sekali tuntas agar tidak terus-menerus menimbulkan korban dan mengganggu ketenteraman penduduk setempat ? Tentu saja ini menjadi salah satu alternatif. Tetapi belajar dari pengalaman pemberlakuan DOM (Daerah Operasi Militer) di beberapa daerah sebelumnya yang menimbulkan berbagai ekses, maka pemerintah nampaknya bersabar untuk tidak memberlakukannya lagi. Lebih memilih pendekatan kesejahteraan. Dengan membangun berbagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, diharapkan pada anggota KKB itu sadar lalu menghentikan aksi-aksi kekerasan mereka dan ikut berpartisipasi dalam upaya peningkatan kesejahteraan itu. Tetapi sampai kapan mereka akan sadar ? Dan kalau tidak sadar-sadar juga lalu apa ? Menurut penulis. Ada dua cara pendekatan. Pertama, tentu dengan operasi militer sekali tuntas. Tetapi dengan syarat harus meminimalisir ekses-ekses seperti yang terjadi pada pemberlakuan DOM di masa lalu itu. Kedua, penyelesaian damai atas dasar “win-win solution” atau tanpa kehilangan muka. Kalau pilihan pada alternatif pertama, maka untuk menghindari korban-korban rakyat biasa, maka : - sebelum operasi dilakukan, seluruh penduduk di wilayah operasi yang akan disasar harus diungsikan sementara. Ditampung dan ditanggung pemerintah segala kebutuhan pokok mereka. Mengapa harus diungsikan ? Bukan saja untuk menghindari terjadinya salah tembak saat kontak senjasta, tetapi juga untuk memutus hubungan antara pihak KKB dengan warga sipil yang mungkin bekerjasama. Baik dalam suplai senjata gelap, amunisi dan bahan makanan, maupun informasi sebagai mata-mata. Selain itu, untuk menghindari adanya penyamaran sebagai warga biasa oleh anggota KKB. Dan mengapa harus pemerintah yang mengungsikan ? Kalau bukan pemerintah, maka pihak KKB lah yang akan aktif melakukan. Seperti yang terjadi di Tanah Mori Sulawesi Tengah dahulu. Karena TNI tak bergerak, pemberontak TII aktif meneror penduduk sehingga mereka semua lari mengungsi ke wilayah tetangga. Maka tanpa berperang, pihak pemberontak dengan mudahnya mampu memperluas wilayah kekuasaan defacto mereka sekecamatan lagi. - Masa berlaku DOM harus dibatasi. Dalam masa itu Polri dengan dukungan TNI ditargetkan sudah harus dapat menguasai kembali wilayah operasi. - Cara penguasaan kembali wilayah dari pihak KKB dilakukan dengan sistim “bentengstelsel”. Meniru strategi Jan Pieterzon Cun dahulu ketika VOC merebut sedikit demi sedikit wilayah kekuasaan raja-raja di Jawa. - Wilayah operasi yang sudah dikuasai, dikembalikan lagi tanggungjawab pengamanannya kepada aparat keamanan teritorial seperti KODIM dan Polres. Pada saat itu penduduk yang diungsikan dikembalikan lagi ke tempat masing-masing sehingga kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan normal kembali. - Selama masa operasi militer, pasukan Polri-TNI harus terus ofensif seperti tatkala penuntasan pemberontakan Kahar Muzakar dahulu di Sulawesi. Bila defensif seperti sekarang akan membuat KKB menjadi aktif ofensif. Mengapa pengacauan TII di Sulawesi dan RMS di Maluku dulu berlarut-larut ? Karena operasi tidak pernah tuntas dan TNI nampak lebih banyak defensif, bertahan. Mungkin juga TNI ketika itu agak terkendala oleh beberapa partai politik berpengaruh yang cenderung mendukung tujuan politik para pemberontak. Baru pada masa pemerintahan Presiden Suharto tindakan tegas dapat dilakukan. Kahar Muzakar, pemimpin tertinggi TII berhasil dilumpuhkan dan pemberontakan RMS pun berhasil diakhiri. Kita yakin, bila hal yang sama diberlakukan juga terhadap KKB, hasilnya akan sama. - Selama masa operasi militer, tindakan kekesaran atau pelanggaran hukum oleh aparat Polri/TNI sedapat mungkin dihindari karena akan dijadikan KKB sebagai bahan kampanye negatif mereka di mata internasional untuk menjelek-jelekan Indonesia. Sekaligus agar internasional menekan Indonesia untuk menghentikan operasi militer. - Kepada dunia internasional, harus terus-terus ditekankan bahwa yang dilakukan Polri dengan dukungan TNI adalah aksi polisionil, aksi penegakan hukum, sebagaimana juga Belanda dahulu mengkampanyekan ketika mereka berusaha menguasai kembali wilayah RI pada masa perang mempertahankan kemerdekaan. Diplomasi internasional pada masa ini mutlak diintensifkan. Pendekatan dengan negara-negara tetangga yang selama ini agak miring mendukung KKB lebih ditingkatkan. - Sepanjang aturan hukum memungkinkan, untuk sementara waktu jaringan komunikasi media sosial dibatasi dan diawasi. - Selama operasi berjalan, wilayah laut dan perbatasan darat di sebelah barat diawasi ketat untuk mengcegah terjadinya penyelundupan senjata, amunisi dan logistik oleh para pendukung KKB. - Tawaran amnesti umum atau pengampunan kepada para anggota KKB yang mau kembali ke pangkuan NKRI terus disebarkan, termasuk melalui udara. Cara ini dulu cukup efektif dan berhasil mengakhiri perlawanan sisa-sisa kaum pemberotak Permesta di Sulawesi. Alternatif kedua, yaitu “win-win solution” simak di tulisan berikutnya. ***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *