Saturday, May 1, 2010

Asal Mula Orang Bahono Bergabung Dengan Kerajaan Mori

Pada tahun 1907 seluruh daerah Kerajaan Mori sudah aman. Tak ada lagi perang, baik dengan Belanda maupun antar suku, termasuk suku Bare’e, suku Towatu dan Tomoiki. Suku-suku ini semula tidak termasuk suku Mori. Tetapi dalam perang antar suku, Raja Marunduh dapat mengalahkan suku-suku ini sehingga dengan sendirinya wilayah mereka menjadi bagian dari Kerajaan Mori. Namun setelah Raja Marunduh takluk kepada Belanda, raja-raja kecil ini merasa tidak terikat lagi dengan raja Petasia itu. Saat itu suku-suku yang masih berada di benteng-benteng pertahanan di pegunungan termasuk suku Tomobahono yang sering juga disebut Tolasi.

Pada suatu hari seorang pembesar Belanda mendatangi Rumah Besar di muara sungai Tiwo’a. Itu adalah kedatangan Belanda yang kedua ke Ue Lagasi, Kepala suku Bahono. Belanda tetap mengakui Ue Lagasi sebagai Kepala Suku dan sekaligus mengangkatnya menjadi Kepala Kampung. Ia diminta untuk memerintahkan rakyatnya pindah dari benteng-benteng pertahanan di gunung dan mulai membangun perkampungan di tanah datar. Belanda akan menjamin keamanan. Ue Lagasi setuju. Maka tahun 1910 mulailah suku Bahono-Lasi membangun kampung di Lintumewure daerah Ture’a. Karena itu maka orang Bahono-Lasi sering pula disebut Toture’a.

Tahun 1916 terjadi peristiwa yang menimbulkan kekecewaan dan penderitaan rakyat Bahono akibat politik Belanda yang semau-maunya membagi-bagi wilayah pendudukan mereka tanpa memperhatikan tradisi penduduk setempat. Belanda mulai menjalankan keinginannya dengan memperalat raja-raja sebagai wakilnya. Mereka juga menempatkan pengawas-pengawas yang disebut Petor, baik di Malili maupun di Kolonodale.
Daerah Ture’a dan kampung Lintumewure seluruhnya termasuk pemerintahan Petor Malili dengan Andi Halu raja Bugis sebagai wakilnya di Tole-Tole.

Pada musim panen, suku Bahono/Lasi hendak memungut hasil kebun mereka yang kebanyakan di daerah Kerajaan Mori. Tetapi tiba-tiba dilarang Raja Mori dengan alasan bahwa sesuai dengan perbatasan yang baru, kebun-kebun itu termasuk wilayah Petor Kolonodale. Sedangkan Kampung Lintumewure termasuk Petor Malili.
Raja Mori berpesan, apabila suku Bahono/Lasi bersedia pindah ke daerah wilayahnya barulah mereka boleh mengambil hasil tanaman mereka.

Mendengar pesan itu, Ue Lagasi memutuskan menyelenggarakan musyawarah adat (terisoa) yang diikuti seluruh rakyatnya, teristimewa orang tua-tua dan mandur yang bekas panglima perangnya (pongkiari) Ue Baby.Rakyat dimintakan pendapat mereka apakah sepakat secara sukarela pindah dan membangun kampung baru di tepi sungai Ulu’anso dan tepi sungai Po’ahaa. Seluruh rakyat setuju pindah ke kedua tempat itu, yang termasuk dataran Lembo, Kerajaan Mori/Petasia.

Berdasarkan hasil musyawarah adat itu, Ue Lagasi sebagai Kepala Kampung bersama Ue Baby segera ke Malili meminta surat pindah ke Petor Kolonodale. Usulan pindah dikabulkan dan setelah itu mereka segera berangkat menghadap Raja Mori dan Petor Belanda menyerahkan surat itu.

Raja maupun Petor menyetujui keinginan rakyat Bahono dan langsung pula menyetujui dibangunnya perkampungan baru, Ulu’anso dan Kumpi. Hal ini mudah dimengerti mengingat antara Ue Lagasi dan Raja Marunduh selalu ada hubungan baik. Bahkan Ue Lagasi pernah memprakarsai upacara perdamaian antara Raja Marunduh dengan Raja Luwu di Sungai Kasitawa sehingga Ue Lagasi mendapat julukan :”Tondo dopi Mokole”. Konon, Batho, tangan kanan raja yang sekaligus pengawalnya berasal dari Bahono-Lasama (Lasaeo). Ia telah menjadi kerabat istana. Dan ketika raja Marunduh mengundurkan diri ke benteng pertahanan Wulanderi, ia menjadi salah seorang yang memimpin pertahanan dari serangan Belanda di Ensa Ondau dekat Korompeeli sekarang.

Rencana penggabungan itu ternyata bukan tanpa hambatan. Sekitar seminggu kemudian pada waktu malam, tiba-tiba datanglah Andi Halu dari Tole-Tole ke Lintumewure dan mengusir seisi kampung. Ia sebenarnya tidak senang dengan kepindahan orang Bahono itu. Ia memberi pilihan. Siapa yang mau pindah, saat itu juga harus segera berangkat keluar. Andi Halu ketika itu dikawal polisinya yang bernama Tomakaraja.

Mengetahui kejadian itu, Ue Lagasi turun dari Palampa (rumah panggung) kediamannya. Ia memerintahkan seluruh rakyat turun dan mengosongkan kampung. Ia menyuruh rakyat membunyikan tawa-tawa (gong) dan meminta segera berangkat malam itu juga dan tinggal di kebun masing-masing dekat perbatasan wilayah Petor Malili dan Petor Kolonodale.

Ketika meninggalkan kampung Lintumewure, tak henti-hentinya rombongan membunyikan tawa-tawa. Saat itu Ue Lagasi berteriak-teriak :”Tewulu padekawa”. Artinya “perahu Datu berangkat/berlayar ke laut”. Kata-kata ini sebagai ejekan kepada Andi Halu yang mengusir rakyat tanpa mengenal peri kemanusiaan.

Tahun 1919 semua bangunan rumah-rumah sudsah selesai dan rakyat Bahono mulai menempati Kampung Ulu’anso dan Kumpi.Sebagian besar pemukim asal Benteng Pa’ano memilih Kampung Ulu’anso. Sebagian lagi memilih Kampung Kumpi seberang sungai Kasitawa, kira-kira dua kilometer dari Ulu’anso. Mereka umumnya berasal dari Benteng Waawulo. Sebagai kepala kampung Kumpi yang pertama Ue Lagasi menunjuk Ue Langkamuda.

Mulailah suku Bahono membangun hidup baru dengan mengolah tanah yang subur mulai dari Kororeo sampai Uwoi Mowewu atau Wita Motaha. Banyak yang kemudian memiliki daerah peternakan.atau walaka. Marga Lapoliwa misalnya memiliki peternakan di Bahono, Lembono dan Soline. Sedangkan Marga Lagasi peternakan sapi di Wita Motaha.

Di Lintumewure sampai saat ini (2005) masih terlihat bekas kampung orang-orang Ture’a – Lasi yang mendiami tempat itu antara tahun 1911 – 1916. Pohon-pohon tanaman tahunan seperti mangga, durian dan langsat masih ada. Rumpun sagu peninggalan Ue Latingka kini masih ada dan dijaga salah seorang keturunannya, Lasiondi, pensiunan guru di Nuha. (dikutip dari “Buku Teratai Bahono Berkembang” karangan Latarima Lapoliwa).

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *