Thursday, May 6, 2010

SRI MULYANI PERGI, INDONESIA INTROSPEKSI

Selama ini sudah bukan rahasia lagi banyak orang-orang pintar Indonesia memilih bekerja di negeri orang karena merasa di negerinya sendiri merasa tidak diterima. Bahkan ada yang merasa diobok-obok. Itu mungkin yang ikut dirasakan tokoh wanita cendekiawan ini, meskipun tidak terucapkan.

Pokok masalah yang sering dimunculkan menyangkut tokoh ini adalah keputusannya sebagai Ketua KSSK dalam kasus Bank Century yang menyetujui pemberian dana talangan kepada Bank bermasalah itu. Keputusan itu diambil berdasarkan pertimbangannya, bahwa bila tidak dilakukan akan menimbulkan dampak yang besar pada perekonomian Indonesia. Soal penilaian ini memang relatif, tetapi sebagai pemegang otoritas pada saat mendesak itu ia harus mengambil keputusan.

Dalam kasus ini sebetulnya Sri Mulyani tidak sepenuhnya dapat dimintakan pertanggunganjawaban. Karena yang disetujuinya sebenarnya hanya sebesar Rp 673 milyar. Tetapi orang-orang yang menindaklanjutinya kemudian mengubahnya menjadi Rp 6,7 triliyun ! Sebetulnya yang menjadi masalah pokok adalah proses perubahan jumlah yang sekitar 10 kali lipat itu ! Sri Mulyani sendiri sempat kaget diketahui dari hasil rekaman kata-katanya "seperti mau mati berdiri", ketika mengetahui hal itu. Itu sebetulnya sudah menujukkan ketidak terlibatannya secara langsung dalam manipusai jumlah talangan itu. Kalau boleh dikatakan kelalain,karena dia tak menetapkan plafond. karena dalam pengusulan talangan memang ada kata-kata "kemungkinan masih dapat berubah" jumlah yang perlu ditutupi. Disnilah sebetulnya dibutuhkan kebesaran hati Sri Mulyani, sebagai pemimpin mengakui tanggung jawabnya secara arif, "saya bertanggung jawab", khususnya ia lalai memberi jabaran yang lebih tegas pada keputusannya.

Atas kesalahan itu, Presiden sebagai atasannya, cukup memberi peringatan atau teguran lisan sesuai PP.30/1980. Tentu saja dengan tetap menjaga tata krama budaya (Jawa). Hal ini sudah pernah dilakukan mantan Presiden Suharto sewaktu menegur menteri perhubungannya, yang dinilai rakyat arogan mendemontrasikan helikopternya di atas pemukiman penduduk.

Bila pengakuan ini ada (jadi tidak merasa benar sendiri 100 %), mungkin rakyat (dhi DPR), mungkin akan lebih dapat bermurah hati memaafkannya.

Proses di Pansus DPR telah memutuskan, kebijakan pemberian talangan itu merupakan suatu pelanggaran. DPR merekomendasikan kepada KPK untuk menindaklanjutinya menurut hukum. Dan sebagai konsekwensinya, Sri Mulyani sebagai mantan Ketua KSSK harus ikut menjalani proses hukum untuk mengklarifikasi ada tidaknya keterlibatannya dalam tindak pidana korupsi.

Namun ketika proses ini belum selesai, Sri Mulyani mendapat tawaran untuk menduduki jabatan sebagai orang kedua di Kantor Pusat Bank Dunia di Amerika Serikat. Dan untuk itu dia mengundurkan diri sebagai Menteri Keuangan RI. Yang menjadi masalah kemudian bagaimana proses lanjut proses hukumnya setelah 1 Juni 2010 nanti mulai menduduki jabatannya yang baru.

Banyak orang berpendapat, sebaiknya ia dan KPK menjernihkan dulu kasus hukumnya sebelum berangkat. Agar nanti tidak menjadi hambatan bagi KPK demikian pula jangan menjadi beban pikiran bagi yang bersangkutan ketika melaksanakan tugas barunya.

DPR pun sebagai konsekwensi keputusannya sebaiknya pun segera mengambil sikap lanjut. Selama ini salah satu tuntutan yang disuarakan adalah agar ia mengundurkan diri sebagai Menkeu. Tetapi proses itu baru dapat dilaksanakan bila terbukti ada pelanggaran hukum. Namun dengan adanya perkembangan baru ini DPR pun harus mengambil sikap. Kalau DPR secara politis menilai telah terjadi pelanggaran, maka DPR pun harus menentukan sikap atas pelanggaran itu : dapatkah dimaafkan saja karena bukan dia yang memanipulasi kebijakannya disamping telah banyak berjasa pada negara ? Apalagi dengan terpilihnya menjadi pejabat lembaga internasional yang bergengsi itu ikut menaikkan kredibilitas bangsa di dunia internasional. Atau apakah DPR secara definitif menyerahkan sepenuhnya kepada proses hukum yang berlarut-larut ?

Sebenarnya disamping kasus Bank Century, Sri Mulyani juga sering dikecam karena kebijakan ekonominya selama ini dianggap neo liberal. Di belakang ini tentunya ada kepentingan politik. Menjadi pertanyaan, kalau kebijakan ekonomi selama ini dikatakan neo liberal, lalu mau alternatif lain ekonomi apa ? Yang paling sering diwacanakan adalah "ekonomi kerakyatan" dan "ekonomi syariah". Hanya yang menjadi
masalah adalah kedua alternatif itu masih mengambang karena belum ada rumusannya yang jelas. Hal kedua, apakah akan dapat diterima oleh masyarakat luas, lebih-lebih yang kedua mengingat penduduk Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam latar belakang budaya.

Agaknya pilihan yang dapat diterima semua pihak adalah sistim ekonomi seperti yang telah digariskan oleh para pendiri republik ini sesuai Pasal 33 Konstitusi 1945.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *