Tuesday, May 15, 2018

BAGIAN SATU : MASA KECIL DI KAMPUNG


1.1.   Indahnya Bunga  dan Burung
Warna-warni
K

apal Tindahia perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan Poso. Orang-orang pengantar di pelabuhan tampak betambah kecil. Matahari dengan sinarnya yang kuning keemasan mulai masuk ke laut di balik tanjung sebelah barat. Setengah jam kemudian lampu-lampu di sepanjang pantai  Jalan Penghibur serentak menyala, makin lama makin banyak membuat pemandangan dari arah laut sungguh semarak. Alunan ombak yang tidak seberapa besar membuat  bayangan lampu-lampu itu tampak di bawah air bagaikan dua  rahang buaya raksasa dengan lampu-lampu itu sebagai giginya.
Ketika kapal membelok melewati tanjung Madale dan masuk ke laut lepas, suasana terasa menjadi hening. Lampu sudah  tinggal satu-satu, terpencar jauh satu dengan yang lain dengan cahaya samar-samar. Suasana kembali cerah ketika  bulan mulai terbit. Rupanya bulan purnama. Bentangan  langit bersih dihiasi ribuan bintang-bintang. Cahaya bulan  cukup terang sehingga  butir-buti air di buritan kapal jelas  terlihat.
Penumpang-penumpang mulai kembali ke tempatnya masing-masing Tetapi aku masih tetap berdiri di pinggiran geladak kapal. Maklum baru sekali ini aku naik kapal besar  mengarungi laut lepas dan aku sungguh mengagumi  panorama alam yang indah itu.
 Angin malam yang dingin mulai menerpa. Aku lalu kembali bergabung dengan penumpang-penumpang lainnya. Semua penumpang ditempatkan di  satu dek. Pak James  Tonggiro, tokoh DPRD Poso yang kuikuti tengah asyik  bermain catur dengan seorang  penumpang. Tiba-tiba  seorang penumpang menepuk pundakku. “Mau ke mana ?” “Eh, pak Bas, mau ke Jakarta Pak, jawabku. .
         Bas Ali adalah salah seorang Pemborong bangunan terkenal di Poso. Ia biasa memberi aku kesempatan bekerja sambilan di proyek-poyeknya seusai  sekolah. Ia akan ke Surabaya  bersama keluarganya. “Di Jakarta di mana”,  seorang  penumpang  di samping  kami  bertanya, karena ia
juga akan ke Jakarta. “Senayan”, kataku. “Oh, itu tempat orang-orang besar.”, katanya Aku tak   menjawab. Tapi kupikir mungkin saja. Sebab namanya saja Gelora Senayan International Village.
Aku membayangkan bagaimana nanti aku harus menyesuaikan diri di lingkungan yang baru itu. Aku anak desa, akan melihat kota Jakarta saja sudah seperti mimpi. Ibukota negara, tempat presiden RI, tempat kemerdekaan RI diproklamasikan, dari mana Bung Karno selalu berpidato ke seluruh Tanah air. Setiap tanggal 17 Agustus kami murid-murid dan pelajar dan masyarakat di kota Poso berkumpul didepan Gedung Nasional untuk mendengarkan pidato Bung Karno melalui radio.  Dan sekarang, aku, anak kampung Ulu’anso yang indah, sebentar lagi akan masuk dan menjadi warga kota termasyhur itu.
 Kampungku. Ulu’anso, termasuk Kecamatan Lembo yang beribukota di Beteleme. Dahulu sebelum ada pengacauan gerombolah pemberontak, kampungt kami  merupakan tempat yang indah, sejuk dan damai.  Ketika aku mulai mengenal alam sekitarku, yang pertama-tama kukenal adalah wajah ibu, ayah dan kakak-kakakku. Merekalah yang sering menyapa aku  dalam ayunan. Ayunanku terbuat dari kotak bambu. Keempat sudutnya digantung dengan tali  pada sebatang kayu lentur di langit-langit rumah. Sering kali pada kayu ayunan itu diikatkan bunga warna-warni  dan bahkan pernah pula burung  nuri kecil warna  hijau yang berkombinasi kuning dan merah. Sungguh indah dan mengagumkan. Meski aku belum dapat berkata-kata tetapi bayangan indah itu senantiasa berkesan sepanjang hidup, lebih-lebih bila melihat bunga-bungaan ditaman dengan burung-burung pengisap madu  serta bulu warna-warni beterbangan sambil berkicau disekitarnya.
          Aku anak ketujuh dari delapan bersaudara. Kakak pertama Latarima dan  kedua  Seti, keduanya laki-laki. Baru kukenal ketika mereka pulang merantau. Aku sudah berusia enam tahun ketika itu. Kakak Latarima pulang cuti dengan membawa pakaian serba aneh. Pakaian hijau, mantel, sepatu, pet, ransel, kopelrim, beberapa alat bela diri serta berbagai jenis makanan kaleng rasum militer      Kakak Seti muncul  pada suasana pendudukan militer Jepang. Aku ingat ia selalu berpakaian putih dengan celana panjang. Bila melewati simpangan  jalan harus berdiri sejenak. Kata ibu,  itu adalah tradisi yang  harus  dilakukan setiap orang  yang  baru  datang  ke suatu          tempat. Tak banyak kesan pertama dari  kakakku ini karena tidak lama kemudian kembali lagi ke-tempat kerjanya di Poso.
Kakak ketiga, Uranili, adalah  puteri pertama  ibuku. Belum sempat kuingat wajahnya, karena ia segera mengikuti suaminya, guru Porotu’o ke Ungkaeya, tempat penugasannya yang baru. Sebelumnya ia bertugas di  Ulu’anso.
Ada peristiwa menggelikan namun mengesankan, yang baru kudengar empat tahun kemudian  dari kakak perempuan suami  kak Ura. Konon, ketika semua undangan pesta pernikahan sedang  hening mengikuti do’a makan, aku yang ketika itu dalam pangkuan ibu memberitahu, “neeto ine wukuno. Artinya “ibu ini tulangnya”. Orang-orang yang mendengar  mungkin menahan tawa.
Tamu-tamu banyak sekali. Selain seluruh warga Uluanso dan Korowalelo,   warga  kampung tetangga seperti  Kumpi, Pangempa dan Nuha juga diundang . Undangan  terbuka  tanpa batas. Rumah kami, rumah panggung yang sudah cukup besar, disambung dan diperluas lagi dengan bangunan sementara  di  sekelilingnya, samping kiri-kanan dan depan sampai pagar halaman.
              Kak Maga (Lamaga) anak ke enam,  melanjutkan sekolah di Tinompo lalu Kolonodale dan Poso. Karena itu jarang di rumah. Terakhir ia memberi kabar sudah menjadi siswa SMP dan diajak ikut dan tinggal di satu keluarga tentara  di Manado. Kami sempat kehilangan hubungan selama terjadinya pemberontakan Permesta. Ketika berjumpa kembali ia sudah berseragam militer Divisi Siliwangi yang berpangkalan di Salabintana, Sukabumi. 
                  1. 2.   Ibu kedua tersayang
P

ada umur empat tahun aku terpisah sementara dari keluarga.  Kakak ayah, Pak Tua Si’oli membujuk aku ikut  bersamanya ke Bahono, kawasan tempat perladangannya. Aku dibujuk untuk menemani (mete’ia) cucu pertamanya dan disana katanya banyak burung bagus-bagus  dan  buah-buahan.   Ayah  dan ibu tidak keberatan.  Aku juga tertarik dan setuju. Memang paman ini sangat ramah, ia menggendong aku dalam perjalanan yang mendaki dan ia membuatkan aku tongkat rotan yang bagus.
Suasana di rumah paman cukup ramai. Anaknya lima orang, yang sulung laki-laki Kak Tinia sudah kawin yang memberikan cucu pertama bagi paman, sedang Kalinda, juga laki-laki ialah yang paling bungsu. Namun ia lebih tua tiga tahun dari aku. Tiga lainnya adalah perempuan.
        Paman dikenal sebagai sesepuh di kawasan Bahono. Keluarga ini memiliki walaka, yaitu penggembalaan kerbau, dan ternyata mereka juga sebagai keluarga pemburu. Mereka memiliki sekitar dua puluh anjing pemburu. Hampir setiap malam mereka keluar berburu.
Pada suatu malam, mereka pulang dengan membawa hasil buruan sambil membopong seekor anjing yang luka parah terkena taring babi hutan yang balik menyerang.
          Hari-hari berikutnya aku ditempatkan di rumah Kak Tinia ditepi kebun yang baru dibuka. Di seberang kebun masih terdapat hutan dengan pohon yang tinggi-tinggi. Pada pohon-pohon itu sering terlihat kera-kera liar belompatan dan berayun-ayun dengan mengeluarkan suara keras. Pada sisi lain dari rumah kebun ini, hanya terhampar padang-padang ilalang yang diselingi pepohonan di beberapa tempat..
        Istri Kak Tinia, Ibu Mariale, seorang ibu yang sangat ramah. Bersama kami tinggal pula ibunya yang sangat ia sayangi. Ketika mereka sedang bekerja di kebun tak jauh dari rumah, aku  diminta menjaga bayinya, Eti, yang dibaringkan dalam buaian.   Sambil menjaga si bayi, melalui jendela aku tetap dapat  melihatnya bekerja di kebun dan kami dapat terus bercakap-cakap meskipun dengan agak berteriak.
         Beberapa kali aku diajak turun ke kebun. Banyak hal yang baru dan menarik perhatianku. Buah-buah semangka,  yang kecil-kecil maupun besar-besar bergelimpangan di antara tanaman padi yang belum seberapa tinggi. Aku  senang ketika diajari bagaimana memasang tondo untuk melindungi anak-anak buah semangka yang baru bertumbuh itu supaya dapat menjadi besar.
         Sesaat, aku merasa kesepian juga di kebun terasing ini. Tetapi keramahan Mama Eti ini akhirnya membuat aku lama-lama beta juga. Malah ketika setahun kemudian mereka memberitahukan aku harus pulang kembali ke rumah orangtuaku, aku juga merasa berat untuk meninggalkan mereka. Kata mereka, ibu dan ayah telah minta aku pulang karena  aku juga telah mempunyai adik sendiri yang perlu ditemani. Seminggu setelah aku kembali, kedua suami isteri datang ke rumah mengantarkan semangka yang pernah aku tondo.
          Beberapa tahun kemudian aku mendengar  Mama Eti sakit keras. Banyak orang datang berkunjung dengan hati tercekam. Telah diusahakan mendatangkan dokter tapi tak ada kabar kepastiannya. Semua sudah merasa putus asa. Ia minta dibawa ke ruang beranda depan dan duduk menghada ke luar. Aku mencoba mendekatinya, tapi tak ada reaksi. Nampaknya seperti ia tidak mengenalku lagi. Ia akhirnya memang harus kembali ke hadirat Penciptanya, meninggalkan suami dan anak tunggalnya yang masih kecil. Aku sedih sekali. Ia adalah ibuku yang kedua yang sangat kusayangi, yang pernah memberi aku rasa kasih sayang.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *