Friday, May 18, 2018

Bertamu ke rumah Menteri (4.3)

D
ari koran dan majalah yang kubaca aku mulai dapat mengikuti situasi yang terjadi di Jakarta. Terutama situasi politik. Polemik mengenai  Manikebu, konflik-konflik antara HMI dan CGMI yang berhaluan komunis dan polemik antar partai lainnya.
                Tapi yang paling menarik bagiku adalah sebuah  nama pada Harian Pelopor, JK. Tumakaka. Ia adalah pemimpin redaksi sekaligus pemilik suratkabar ini. Nama ini sudah sering disebut-sebut ayah dan ibuku. Kata mereka, mereka pernah tinggal dii Uluanso, kampung kelahiranku ketika ayahnya guru Lamale bertugas di  sana. Dan kebetulan sekali ketika kemudian  kami mengungsi dan pindah sekolah, aku pernah pula  menjadi  murid beliau di Tinompo.  Bahkan ketika beliau wafat secara mendadak  aku masih menjadi muridnya di kelas 3.
               Kupikir, mungkin beliau juga masih ingat orangtuaku dan aku yakin ia juga akan dapat menolong menerima aku bekerja di korannya. Sebagai apa saja. Toh, aku sudah biasa bekerja keras.
               Diam-diam aku minta informasi lebih banyak tentang beliau dari loper koran tadi. Di mana rumah beliau dan apakah ada kemungkinan aku dapat diterima bekerja di
korannya. Jawabannya ternyata sangat memuaskan. Malah katanya ia tiap pagi juga ke rumahnya mengantarkan koran. Kebetulan sekali , Puji Tuhan !
               Mas Narumi dan isterinya ternyata mempunyai hubungan sangat baik dengan keluarga beliau. Sebetulnya akan lebih baik kalau mereka yang membantu   menyampaikan keinginanku. Tetapi bukankah mereka selalu memintaku bersabar saja menunggu ?
              Apa boleh buat.Kesempatan satu-satunya ini harus kugunakan. Aku segera menyiapkan surat permohonan yang sangat sederhana tetapi dengan nada kekeluargaan. Ketika loper datang lagi, aku titipkan surat itu dengan pesan kalau dapat disampaikan langsung ke tangan beliau. Aku tidak memberi tahu tindakanku kepada Mas Narumi atau isterinya dan aku akui ini agak lancang. Tetapi apakah harus tidak berbuat ?
               Dua hari kemudian selesai makan, aku dan Siman ditanyai adakah diantara kami yang mengirim surat ke Pak Tumakaka yang lasim dipanggil Pak Tom. Aku mengaku dan mereka menyesalkan tidak memberitahukan sebelumnya. Tetapi sesudah itu mereka memberitahukan Pak Tom sudah menerima baik  pemohonanku. Aku disuruh  menemui beliau untuk mendapatkan penjelasan lebih jauh. Mereka juga menyuruh Siman untuk ikut serta. Kemanakan kakak sepupu ini sudah tinggal di sini beberapa bulan sebelum kedatanganku. Ia sebelumnya mengikuti test masuk Akademi Angkatan Laut di Manado dan lulus. Namun dalam test lanjutan di Surabaya ia gagal. Ia akhirnya ke Jakarta.
                Suasana di rumah Pak Tom nampak ramai. Semua orang nampak riang gembira seperti sedang  ada kumpulan keluarga. Pak Tom menerima kami dengan ramah. Badan tinggi besar, berkumis sedang, sifat dan kebapakan  Ia  memperkenalkan kami kepada isterinya dan anggota keluarganya yang lain. Isterinya asal Malang juga ramah. Pak Tom mengajak kami  ke ruang kerjanya yang lebih tenang dan mulailah kami terlibat dalam saling ceritera yang akrab. Beliau ketika itu sudah menjadi Menteri/Sekjen Font Nasional dan sering berhubungan dengan Presiden, Bung Karno. Ketika kuceriterakan sedikit asal-usul keluargaku, ia begitu antusias. Ternyata ia kenal semua kakak-kakakku yang sebaya dengan dia semasa ayahnya menjadi guru di kampung kami, Uluanso. Beliau juga menceriterakan kesan-kesan yang menyenangkan   Kami  terkadang menggunakan bahasa daerah dan sesekali ia tertawa senang.
          Ia kemudian mengatakan bahwa kami bedua dapat diterima bekerja sebagai korektor di surat kabarnya. Tapi     sesudah Tahun Baru, karena saat itu sedang sibuk-sibuknya menyambut Natal dan Tahun Baru. Namun diminta mulai besok sebaiknya sudah ke percetakan melihat-lihat dahulu apa dan bagaimana pekerjaan seorang korektor. 

        BLUNDER : AYAT ALKITAB DAN ALQUR'AN TERTUKAR ! 
    Ketika pertama kali memasuki gedung percetakan Daya Upaya di gedung De Uni (tempat Hotel Jayakarta sekarang), napas terasa sumpek. Di sana sini terlihat mesin-mesin berwarna hitam. Ada yang tak digunakan dan tertutup terpal hitam dan sederetan lainnya yang sedang digunakan nampak mengepul-ngepulkan asap timah berwarna putih. Agak ke kiri ada sebuah mesin sangat besar bergemuruh seperti air terjun dan menurut keterangan itulah pencetak akhir suratkabar yang disebut mesin Rotasi.
                Terpesona juga aku pertama kali melihatnya karena bekerjanya demikian cepat. Kertas gulungan besar yang terpasang pada mesin, hanya dalam waktu satu-dua jam telah berubah menjadi koran-koran yang tersusun rapih dan siap untuk diedarkan.
                  Pekerja-pekerja tampak sibuk dengan  pekerjaan mereka masing-masing. Banyak yang hanya menggunakan baju singlet karena hawa panas mesin. Disamping mereka, selalu tersedia segelas susu murrni. Karena menurut keterangan hanya inilah yang dapat menetralisir uap timah yang terhirup masuk dalam tubuh.
          Di sebuah meja panjang dengan lampu neon panjang-panjang tergatung  di atasnya, beberapa orang tengah duduk dengan kertas-kertas dan alat tulis. Rupanya mereka itulah yang bekerja sebagai korektor. Pak Tom memperkenalkan kami dan menyuruh mereka mengajari kami. Pekerjaan ini ternyata tidak begitu sulit.Hanya mengoreksi kesalahan-kesalahan cetak dari mesin agar sesuai dengan naskah aslinya. Yang perlu diperhatikan adalah ketelitian. Hanya lingkungan kerjanya agak menyesakan. Bunyi deru dan peletak-peletuk mesin mula-mula mengganggu pendengaran. Karena koran kami terbit pagi hari, kami harus bekerja malam hari. Udara pengap dan dingin. Untuk menjaga kondisi kesehatan, selalu tersedia susu murrni dan bubur kacang hijau. Ketika tugas kami selesai, sambil menunggu proses pencetakan dan hari siang, kami menggelar kertas diatas meja atau lantai semen dan tidur.
            Makin lama ada daya tarik tersendiri bekerja di surat kabar ini. Tempat ini ternyata merupakan gudang berita yang serba baru. Ada buletin-berita kantor berita Antara yang diantar tiga kali sehari,. Ada bagian monitoring berita-berita radio dalam dan luar negeri, koran-koran lain yang diterima sebagai nomor tukar, berita-berita informasi dari berbagai instansi pemerintah dan swasta, kedutaan-kedutaan dan kantor berita asing. Belum lagi berita-berita yang ditulis oleh wartawan kami sendiri. Teknik menulis berita-berita itu sendiri sudah menarik.
                Ada beberapa rubrik dalam koran kami yang kupikir aku juga dapat mengisinya. Aku  sering mengajukan bahan untuk kolom kecil  “Kota di sana-sini”dan ternyata dimuat. Aku juga adakalanya  mengisi renungan pendek pada ruangan Mimbar Kristen setiap hari Sabtu. Tentu saja naskahnya selalu diteliti lebih dahulu oleh pengasuhnya. Malahan kemudian aku juga diberi tanggung jawab pengisian ruangan “Renungan Hari Ini”. Ruangan ini diisi  setiap hari satu ayat Alkitab dengan gambar kecil gereja diatasnya, dan disebelahnya satu ayat Alqur’an dengan gambar kecil mesjid di atasnya.
                  Suatu hari letak  ke dua ayat Kitab Suci itu tertukar sehingga hari itu redaksi  menerima banyak protes telepon dari pembaca. Pengalaman tak terlupakan. Tentu saja aku kaget dan segera diralat dengan permohonan maaf. ***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *