Monday, May 21, 2018

Moral Partai Politik Dipertanyakan

Dampak Undang-undang Pemilihan Legislatif yang diciptakan sendiri oleh wakil-wakil Parpol
di DPR, akhirnya membingungkan para petinggi parpol sendiri.Persyarakan yang membatasi hanya
Parpol yang berhasil memperoleh suara 2,5 % yang layak memiliki wakil di DPR menyebabkan
sejumlah partai-partai kecil tersingkir dari lembaga terhormat itu. Demikian juga kerputusan
Mahkamah Konstitusi yang menetapkan prioritas penetapan calon anggota legislatif berdasarkan
suara terbanyak menyebabkan sejumlah elit partai yang sebelumnya didasarkan atas penunjukkan
pimpinan pertai, kini dipaksa berjuang lebih keras. Banyak yang merasa malu karena dalam
pengumpulan suara dikalakan oleh calon-calon pendatang baru, khususnya dari kalangan artis.
Tak kalah merisaukan adalah persyaratan perolehan kursi minimal untuk dapat mengajukan
calon Presiden/Wapres. Hanya satu pertai yang dapat melewati persyaratan itu. Yang lainnya
terpaksa harus berkoalisi dengan partai-partai lain yang senasib. Ironinya justru terdapat
di sini. Khawatir kehilangan peran, posisi dan kedudukan, para politisi partai nampaknya tak
terlalu menghiraukan lagi ideologi partainya. Partai-partai yang semula sangat gigih
menentang kebijakan partai lainnya, kini serta-merta mau menjalin koalisi demi kepentingan
tokoh-tokohnya.
Partai-partai yang selama ini misalnya secara terang-terangan atau samar-samar menentang
pluralisme, sekarang mau berkoalisi dengan penganjur pluralisme. Partai-partai yang dalam
perjuangan politiknya cenderung pada ideologi agama, kini mendekatkan diri untuk berkoalisi
dengan partai-partai nasionalis yang secara teguh mendasarkan diri pada ideologi Pancasila.
Hal serupa juga mulai nampak pada beberapa tokoh yang diunggulkan menjadi calon Presiden.
Yang mengkhawatirkan lagi, adalah munculnya para tokoh yang pada masa lalunya tercatat oleh
sejarah gagal melaksanakan tanggung jawab yang diembannya dalam jabatan publik. Misalnya
dalam mencegah kerusuhan besar di Jakarta dan kota-kota lainnya tahun 1998. Demikian juga
tokoh yang menurut catatan sejarah seringkali membuat blunder dalam keputusan dan tindakannya.
Kalau ketika menjadi pemimpin dalam level yang lebih rendah sudah membuat masalah, bagaimana
kalau memegang pimpinan tertinggi pemerintahan negara ?
Karena itu dalam pemilu calon Presiden/Wapres yang akan datang, para pemilih dapat lebih
arif mencermati calon Presiden/Wapres yang akan dipilihnya. Apakah mempunyai riwayat pengabdian
yang baik, konsisten pada prinsip, didukung oleh partai-partai yang juga konsisten pada azas,
menjunjung etika politik serta akan akan memperjuangankan kesejateraan bagi seluruh rakyat secara adil. Tidak cukup
dengan hanya mendengar janji-janji kampanyenya saja.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *