Wednesday, May 30, 2018

HEBOH GAJI JUMBO BPIP


Heboh besaran gaji Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) akhir-akhir ini menurut hemat saya disebabkan beberapa hal.  Kurangnya informasi tentang BPIP, lemahnya pengorganisasian, dan kurang taktisnya dalam penetapan waktu pengumumannya.
Pada saat ekonomi negara sedang lesuh dan di negara tetangga pemimpinya mengumumkan pemotongan gaji para petingginya untuk meringankan beban negara, tetapi kita di Indonesia justru sebaliknya. Mengumumkan pemberian gaji kepada para petingginya dalam jumlah yang spektakuler !
Ditambah lagi rakyat belum mengetahui bagaimana kinerja BPIP. Apa saja yang telah dihasilkan oleh BPIP. Bahkan siapa saja tokoh-tokohnya baru saat-saat terakhir masyarakat mengetahuinya.
Umumnya rakyat sangat menghormati tokoh-tokoh sepuh seperti KH. Ma’ruf Amin, Ketua MUI, Said Agil Siradj ketua umum PBNU, Pdt. Y.A. Yewangoe yang mantan Ketua PGI, M.Mahfud MD mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, mantan Wapres Try Sutrisno  dan lain-lain termasuk mantan Presiden RI Megawati Sukarnoputeri.
Rasanya rakyat tak akan keberatan kalau negeri ini membagikan sekedar dana kehormatan kepada para negarawan senior ini. Ketika pada masa sepuh mereka masih mau ikut menyumbangkan waktu, pikiran dan tenaga mereka untuk keselamatan dan kesejahteraan negeri ini di masa depan.
Masalahnya saat diumumkannya kurang tepat atau kurang taktis. Mengapa ?   Hari-hari ini adalah masa tahun politik, di mana  pihak pendukung petahana dan kaum oposisi sedang berusaha merebut simpati dan kepercayaan rakyat untuk memperoleh sebanyak mungkin pemilih pada Pilkada, Pileg dan Pilpres yang akan datang.
Seiring dengan itu kaum oposisi juga giat mengamati kelemahan dan kekurangan pihak pemerintah petahana kemudian mengumbarnya ke publik untuk menurunkan ektabilitas lawan.
Di lain pihak, petahana juga semakin giat melakukan segala upaya untuk menunjukkan prestasi-prestasi yang telah mereka capat selama hingga saat ini.
Makanya, tidaklah heran kalau pihak oposisi dengan sigapnya langsung menyambar issue ini sebagai amunisi baru untuk  menyerang lawan politik mereka.
Informasi yang tidak lengkap atau setengah-setengah mengenai BPIP dengan mudahnya ditafsirkan macam-macam sehingga apa yang disebarkan menyimpang dari yang sebenarnya.
Nama Megawati Sukarnoputeri yang ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pengarah, lebin banyak dikenal sebagai Ketua Umum PDIP dan puteri Presiden pertama RI Ir. Soekarno yang diakui sebagai penggali butir-butir Pancasila.
Tanpa setahu Ibu Megawaty, sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP ia diberi gaji Rp 112.548.000 sebulan. Lebih tinggi sedikit dari anggota Dewan Pengarah Rp 100.811.000 dan Ketua BPIP yang kedudukannya setingkat menteri dengan gaji Rp 7.500.000.
Andakata saja yang menjadi Ketua Dewan Pengarah dan kmudian ditonjolkan dengan gaji sebesar itu bukan Megawati,  misalnya Mahfud MD, Try Sutrisno atau yang lainnya, mungkin reaksi tidak akan seheboh ini.
      Penulis yakin bukan mau-maunya Ibu Mega ingin jadi Ketua Dewan Pengarah. Perlu diinformasikan bahwa menurut Pasal 8 Perpres No.7/2018 tentang BPIP, Ketua Dewan Pengarah dipilih dari dan oleh anggota Dewan Pengarah melalui mekanisme internal Dewan Pengarah.
Jadi, kurang lebih sama dengan cara pemilihan Ketua KPK atau Mahkamah Konstusi.
       Karena itu semestinyalah ketika Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai hak keuangan BPIP itu dibarengi pula bahkan didahului dengan informasi kinerja dan apa saja hasil kerja BPIP sejak dibentuk. Sejak masih sebagai Uni Kerja Presiden yang dibentuk Mei 2017 lalu ditingkatkan menjadi BPIP 28 Pebruari 2018 hingga kini.
     Jadi tidak langsung hanya susunan personalianya, tupoksi dan besar  gaji yang bahkan lebih tinggi dari gaji Presiden dan Ketua DPR. Kalau  dirapel untuk sekian bulan jadi berapa ?
   Maka dengan kondisi demikian, lawan-lawan politik mungkin saja dapat menduga yang macam-macam dan kemudian dilemparkannya ke publik. Misalnya, sekarang adalah tahun politik. Partai, para caleg, cagub/cabup/Walikota perlu dana kampanye. Sedang sekarang orang-orang KPK makin meramba dari pusat ke Propinsi, Kabupaten dan Kota bahkan sampai Desa-desa.
Penyadapan makin canggih dan informan KPK tak dapat lagi ditandai. Mungkin kolega sendiri, bawahan bahkan rakyat biasa. Akibatnya para pejabat tidak bisa lagi sekarang bermain-main dengan APBN, APBD atau suap-menyuap , kalau tidak mau kena OTT (operasi tangkap tangan) oleh KPK.Maka harus dicari teknik lain.
Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa para pemimpin biasanya mau rela menyumbangkan hak pribadinya untuk keperluan pihak atau tujuan lain.
    Makanya  setiap seorang pejabat bicara harus jelas bicara dalam status apa. Apalagi tokoh-tokoh Dewan Pengarah BPIP  adalah pemimpin umat yang mengemban berbagai status.
    Ibu Megawati misalnya, ketika berbicara tentang Pancasila di suatu acara, apakah ia bicara sebagai pribadi  puteri Bung Karno penggali Pancasila ? Sebagai  Ketua Umum PDIP atau sebagai  Ketua Dewan Pengarah BPIP.
    Demikian pula tokoh-tokoh lainnya. Bicara di forum  internasional di luar negeri atau  suatu forum lain sebagai nara sumber, apa  disponsori atau atas undangan pihak lain, mewakili organisasi tertentu atau sebagai  pejabat BPIP ?
     Maka akibat ketidak-jelasan itulah maka Amien Rais dengan lantangnya bisa menuding: ”hanya ongkang-ongkang, hanya tukar pikiran, namun dapat 100 juta lebih”. Mungkin beliau mengira, kalau seorang pemmpin partai bicara, bicaranya meluluh hanya tentang partainya saja.
      Penyebutan gaji untuk hak keuangan BPIP juga tak luput dipersoalkan. Pihak MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia ) yang berniat menggugat Perpres tsb ke Mahkamah Agung, merasa tidak etis penyebutan gaji untuk para sesepuh itu. Menurutnya lebih baik dengan istilah lain yang lebih pas seperti “Uang Kehormatan” atau sejenisnya.     
    Disini memang ada juga dilema berkaitan dengan nomenklatur  dalam tata usaha keuangan negara. Baik Menteri Keuangan maupun Kementerian terkait lainnya semuanya terikat harus memakai bahasa undang-undang, bahasa pasal, sehinga tidaklah semudah itu dapat mengganti istilah yang sudah baku.
    Untk  keluar dari kemelut ini, menurut penulis mungkin dapat diambil kebijakan :
1.      Dewan Pengarah BPIP menunda menerima hak keuangan dimaksud sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung mengenai gugatan dari MAKI dll yang diharapkan dapat diproses secepatnya.
2.      Kepemimpinan di Dewan Pengarah BPIP secara bergiliran/peiodik yang dapat diatur secara internal.
3.      Pogram kerja dan capaian tupoksi BPIP didokumentasikan dengan baik.
4.      Perlu ada juru bicara BPIP dan atau forum BPIP di media masa untuk mengkomunikasikan materi-materi dan capaian pembinaan ideologi Pancasila agar benar-benar sampai kepada masyarakat. ***


 









No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *