Friday, May 18, 2018

Presbyter (5.5)



Sesuai rencana, setelah menjadi PNS di Pemda DKI, aku sudah mulai ada waktu senggang sepulang ke rumah. Aku sudah dapat ikut kegiatan-kegiatan di gereja bersama keluarga. Baik ibadah-ibadah dan latihan Paduan suara dan Persekutuan Kaum  Bapak( PKB)
Saat tiba pemilihan presbiter baru,  tak kusangka aku ikut terpilih. Malah kemudian menjadi pengurus di Komisi Pelayanan dan Kesaksian, Koordinator Sektor Pelayanan, dan  Pelaksana harian Majelis Jemaat (PHMJ).
Setiap Jemaat GPIB meyakini, seorang presbyter, sekalipun dihasilkan melalui pemilihan oleh warga jemaat, namun  pemilihan itu tetap di bawah tuntunan  Roh Kudus.  Jemaat menganggap setiap Presbyter adalah pilihan Tuhan sendiri dan wajib dihormati.
Seseorang   Presbyter sejati tak  berani menolak atau melalaikan tugas - kewajibannya. Apalagi pada Ibadah Peneguhan  telah mengucapkan janji di depan Tuhan dan JemaatNya akan menerima tugas jabatannya “dengan segenap hati”. Menolak atau melalaikan tugas pelayanan  sama saja dengan menolak perintah Kristus ! Selain itu ada ganjaran yang akan dihadapi apapila melalaikan tugas seperti digambarkan pada Kitab Yehezkiel 34 mengenai gembala yang baik dan jahat. Oleh karena itu tugas pelayanan harus didahulukan daripada yang lain. Bila ada halangan, selalu akan diupayakan sedapat mungkin agar tugas pelayanan tetap berlangsung dengan baik.
Semula aku berpikir, Majelis gereja yang  kumpulan para presbyter merupakan lembaga sakral. Suasana pergaulan serba rukun, damai, sejuk dan penuh persahabatan. Sepanjang semuanya sehati-sepikir, suasana itu nyata.
Tetapi ketika terjadi perbedaan pendapat yang      berkembang   menjadi   perselisihan,   suasana   dapat   berubah
menjadi sebaliknya. Dan itulah yang terjadi ketika aku menjadi salah seorang fungsionaris Pelaksana Harian Majelis Jemaat (PHMJ). Ketua Majelis Jemaat, seorang pendeta,  dimutasi tiba-tiba dengan cara yang janggal oleh  Majelis Synode sebagai  lembaga eksekutif tertinggi gereja. PHMJ dibekukan. Kami semua dinonaktifkan sebagai presbiter.
Memang   dilema. Disatu pihak, kami harus tetap menjaga keutuhan, kerukunan dan suasana saling kasih-mengasihi dalam persekutuan Jemaat  sesuai ajaran Kristus. Kami juga harus taat kepada pimpinan organisasi gereja. Tetapi di lain pihak kami juga harus menentang segala hal yang tidak sesuai firman Tuhan. Ya diatas yang ya, tidak diatas yang tidak ! Pokok masalahnya,  cukuplah kalau di sini hanya dicatat bahwa pada mulanya semua berawal  dari masalah pertanggungjawaban keuangan Panitia Pembangunan,  kemudian melebar ke hal-hal lain.
Aku pernah bertanya kepada beberapa pendeta yang netral. Apakah langkah kami keliru dan sebaiknya diam saja ?? Tetapi dijawab, kalau diam justru itu yang aneh.
Sebagai fungsionaris PHMJ aku ikut sibuk dalam upaya penyelesaian kemelut itu. Sering terpaksa pulang larut malam dan kurang istrahat. Dalam situasi seperti itu, aku terkadang bertanya dalam hati, apakah dengan menjadi presbyter seperti ini aku bukannya makin berdosa di hadapan Tuhan ? Kenyataan, suasana kasih makin meredup dalam Jemaat. Bagaimanapun,  itu tanggung jawab kami sebagai Majelis Jemaat.  Ini mendukacitakan hati kami. Bukankah lebih baik menjadi anggota Jemaat biasa saja? Aku seperti menyesal telah bersedia menjadi Presbiter dan berpikir kelak tak akan bersedia lagi
 Tetapi dalam hati, seperti ada yang  mengingatkan, bahwa dalam rumah Tuhan pun seperti halnya di Bait Allah di Yerusalem, tidak semua yang ada di sana orang suci-suci semua. Bukankah Tuhan Yesus juga dihakimi dan dijatuhi hukuman mati di Bait Allah oleh Majelis Agama yang  dipimpin Imam  Besar ? Tetapi disana masih  ada  tokoh-tokoh agama yang baik, seperti Nikodemus,  anggota Majelis  Besar Yusuf  Arimatea, ada nabiah Hana dan Imam Zakaria. 
Di mana ada anak-anak Tuhan menabur firman Tuhan, di sana juga selalu menyusup pengikut-pengikut iblis yang berusaha menggagalkan. Ini  sudah diingatkan dalam Kitab Suci. Namun ini tidak harus menjadi alasan bagi seorang pengikut Kristus sejati untuk tidak bekerja di ladang Tuhan. Bahkan justru makin dibutuhkan untuk membendung pekerjaan iblis itu. Dengan kesadaran itulah maka ketika terpilih lagi dalam pemilihan presbyter berikutnya aku tetap menyatakan bersedia..
Setelah aku pensiun tahun 2000 tugas pelayanan di Jemaat Marturia berakhir karena kami pindah ke Bogor. Namun pelayanan ini kemudian berlanjut lagi di GPIB Zebaoth Bogor dan berakhir lagi tahun 2012 ketika  kami pindah ke Depok. 
Meski jabatan presbyter berakhir, tidaklah berarti tugas pelayanan dan kesaksian sebagai pengikut Kristus berakhir. Aku selalu ingat janjiku  akan ikut dalam pelayanan Tuhan  ketika aku memutuskan untuk mundur dari dunia pers dan beralih menjadi PNS. Tuhan menolong mewujudkan janji itu.      
Niatku semula memang mau jadi Pendeta. Tetapi Tuhan telah memberikan bidang pelayanan yang lain. Tidak saja di lingkungan pelayanan gerejani tetapi juga di luar. Pelayanan bidang kemanusiaan seperti pada Yayasan Tanggul Bencana PGI. Sebagai wartawan yang melakukan social control di tengah-tengah masyarakat dan pengawas (auditor) sepanjang karier sebagai abdi negara di Pemda DKI Jakarta. ***












 






















 









No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *