Friday, May 18, 2018

Sebagai Orangtua (5.4)


     Setelah kelahiran anak kami yang pertama, aku menyadari tanggungjawabku sebagai ayah dan Kepala Keluarga semakin besar. Bukan hanya harus mencukupi kebutuhan dasar keluarga seperti sandang pangan dan tempat tinggal, tetapi juga rasa aman dan nyaman, perhatian, rekreasi, kesehatan dan pendidikan. Baik umum maupun rohani.
Bersama isteri, kami sudah sepakat, aku saja yang bekerja dan isteri dapat sepenuhnya mengurus rumah tangga terutama merawat anak-anak. Apalagi tatkala masih bayi dan anak batita (bawah tiga tahun). Kalau sakit atau merasa tidak nyaman, mereka tak bisa bicara, tahunya hanya menangis dan menangis. Sebagai orangtua yang belum berpengalaman, kami masih perlu banyak bertanya pada yang lebih paham.
Ibu isteriku sudah tiada. Beliau meninggal menjelang hari  pernikahan  kami. Untunglah masih ada neneknya.  Sejak
suami nenek ini, seorang sesepuh asal Timor dan mantan Nakhoda meninggal, cucu pertamanya yang kelak menjadi isteriku inilah yang menemaninya.
Kami tetap tinggal di rumah beliau selama dua tahun pertama, dan dialah selalu memberi kami nasehat. Namun begitu, ketika anak kami yang pertama lahir, isteriku masih merasa perlu mendapatkan pendampingan seorang zuster. Selama dua minggu sang zuster bolak balik ke rumah untuk memandikan dan merawat sang bayi, termasuk membantu pemulihan kesehatan isteriku.
Kesehatan sang bayi sampai usia lima tahun, ternyata sangat rawan. Suatu kali pernah aku mendapat telepon di kantor, Kris yang baru berusia setahun panas tinggi. Padahal sehari sebelumnya baru saja kami periksakan ke dokter anak.
Dengan kecepatan tinggi aku memacu sepeda motor dari Jalan Kramat VIII ke Tanjung Priok lewat Jalan Martadinata. Truk-truk trailer yang mengangkut kontainer dari pelabuhan terpaksa kusalip untuk bisa tiba lebih cepat di rumah.
Sampai di rumah, Kris tengah digendong seorang ibu, tetangga sebelah rumah. Mamanya hanya menangis panik. Kris segera kugendong. Wah panasnya tinggi sekali, entah berapa derajat. Matanya memerah dan air matanya mengalir. Aku putuskan untuk segera membawanya kembali ke dokter, seorang dokter anak yang lain. Puji Tuhan, setelah diberi obat suhu badannya mulai menurun.
Entah sudah berapa kali waktu tengah malam aku harus menggendong anak kami ke Unit Gawat Darurat rumah sakit lalu  mengantri obat di Apotik.
Pernah, ketika malam hari aku tengah mengisi bensin di Pompa bensin. Tiba-tiba muncul dua pemuda bersepada motor hendak merampok uang Pom bensin itu dengan golok di tangan. Aku yang tengah menggendong ananda Rut yang sakit terjebak. Maju tak bisa, mundur tidak bisa. Untunglah seketika itu   juga   ada   seseorang   yang   muncul   dengan mengacung-
Acungkan pestol. Kedua orang muda itu ketakutan dan terus pergi.
Ketika isteriku baru saja melahirkan Dian, anak bungsu kami dan masih memerlukan perawatan di Klinik, Kris dan Rut anak kedua, tiba-tiba dua-duanya sakit panas tinggi. Aku terpaksa membawa mereka ke dokter secara bergantian. Aku merasa sedih ketika dalam becak Rut mengajak bercakap-cakap setengah mengigau, padahal suhu badannya sangat tinggi.
Sebelumnya pernah pula kami demikian cemas dengan anak kami kedua ini. Kami baru pulang dari dokter karena panas tinggi. Setelah minum obat, suhu badannya mulai menurun. Merasa lega, kami tidurkan dia di box. Tapi tiba-tiba aku terkejut melihat Rut menggapai-nggapaikan kedua tangannya. Matanya membelalak seperti ketakutan. Aku mengangkatnya, sekujur badannya kejang-kejang sambil tangannya terus menggapai. Aku memanggil-manggil namanya, tak ada suara.
Aku berteriak memanggil mamanya di kamar yang tengah tertidur kelelahan. Karena tak juga terbangun, aku menendang pintu karena kedua tanganku tengah menggotong tubuh anak kami yang masih kejang. Begitu terbangun aku minta dibuatkan kompres air hangat dari termos. Syukurlah, setelah dikompres dahinya, barulah tubuhnya mulai lemas dan sadar kemali. Mengapa ia seperti ketakutan, katanya seperti ada laba-laba besar mau menyerangnya.
Sekali waktu lagi, ketika Rut dirawat di rumah sakit UKI karena gejala types, aku dapat giliran berjaga malam hari. Aku tidur beralas koran dilantai keramik. Ketika hendak bangun pagi subuh, aneh kepala pusing, setiap kepala bergerak akan muntah. Para suster kemudian membawa aku ke ruang gawat darurat. Mereka memberi aku obat dan memintaku  tetap berbararing istrahat.
Hari itu bertepatan dengan hari Natal. Serombongan paduan suara pemuda berkeliling ruangan pasien melantunkan lagu-lagu Natal. Sebagai presbyter, pagi itu seyogyanya aku
 ikut bertugas melayani ibadah. Ketika dikabarkan aku di ruang UGD (Unit Gawat Darurat), mereka bertanya-tanya, yang dirawat di rumah swakit sebetulnya Rut atau ayahnya ?
Sebelum peristiwa itu, si bungsu, Dian pernah menjalani perawatan selama dua minggu. Dia divonis kena Deman Berdarah (DBB) dan harus dirawat dengan infus di rumah sakit yang sama.
Ketegangan dimulai ketika Jumat itu aku mengurus  surat rujukan di Puskesmas Cipinang Jaya. Mereka menolak memberikan surat rujukan karena sudah siang. Sedangkan surat rujukan itu harus diserahkan dalam waktu tiga hari. Kalau tidak, fasilitas Askes tak kan diberikan padahal anak kami sudah di rumah sakit. Sabtu dan Minggu libur. Kalau baru diberikan hari Senin sudah kedaluarsa. Karena tak dilayani juga, aku langsung minta mundur dari keanggotaan  Puskesmas itu.
Cemas atas kondisi kesehatan anak bungsu kami yang kian memburuk, aku minta dispensasi kepada petugas rumah sakit untuk menunda pembayaran  uang jaminan sebagai pasien umjum. Hari itu kami tidak memiliki uang cukup. Famili-famili yang kami hubungi juga tak dapat membantu.
Untunglah ketika aku mendesak agar dipertemukan dengan pimpinan rumah sakit, akhirnya para petugas dapat memberi kami tenggat waktu mengurus surat rujukan.
Timbul masalah lain. Rumah sakit kehabisan stok cairan infus ! Yang sedang terpasang tinggal sedikit sedangkan wajah dan perut Dian makin membiru. HB darahnya terus menurun yang terlihat pada skala alat infus.
Aku berkeliling Jatinegara dan sepanjang Jalan Otista Raya mencari apotik yang masih memiliki cairan infus langka itu. Akhirnya, Puji Tuhan,  dapat juga di Kramat Jati.
Setiba di rumah sakit, ibu-ibu PW (Persekutuan Wanita) GPIB Marturia baru saja pulang sesudah berdoa memohon kesembuhan anak kami.  Ketika mereka datang,  Dian yang  panas tinggi tak ada yang mendampingi.  Dokter jaga          yang dipanggil,  hanya   datang  sebentar  terus  pergi Mamanyasedang kelimpungan kesana kemari mencari batu es buat kompres. .Karena tak ada, ia menerobos pintu belakang ke warung dan disitu hanya ada telur ayam dan madu.
Kuning telor ayam dan madu itu diminumkan ke Dian kemudian Ketua PW Ibu Lena Riboch memimpin doa mohon kesembuhan. Namun sebelumnya terdengar ia  berkata kepada anak kami , “ kau akan mati,  karena itu kau harus menyerahkan diri dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan”. Syukurlah setelah itu suhu badan Dian makin menurun.
Selama saat-saat sangat musykil itu, Kris dan Rut yang masih Balita, kami titipkan ke tetangga kami, keluarga Bapak H.Abbas Ali. Hewan-hewan kesayangan kami tak terurus lagi. Anjing penjaga yang kami ikat di teras, mati tergantung. Rupanya ia mencoba melompati pilar, tapi talinya tak cukup panjang untuk sampai ke bawah. Seekor lagi yang masih kecil, mati tenggelam di kolam belakang. Mungkin ia mau minum tapi terpeleset jatuh dan tidak sanggup naik lagi.
Perawatan Dian di rumahsakit UKI sudah yang kedua. Yang pertama ketika ia masih berusia satu tahun. Juga karena DBD. Kami sangat sedih melihat si kecil  dipasangi jarum infus pada kedua pergelangan tangannya kemudian diikat kiri kanan di sisi tempat tidur. Dia terpaksa terus-menerus telentang. Tak bisa berbalik atau berbaring. Untuk sekedar menenangkan dan menghiburnya, kami belikan sebuah boneka cantiki dengan pakaian merah cerah. Kami tempatkan di atas lemarinya. Anak-anak lain sebangsalnya  ikut mengaguminya. Pergumulan mengenai kesehatan anak-anak ini baru mulai mereda sejak mereka mulai memasuki usia remaja.
Tantangan dalam upaya memenuhi kebutuhan rumah     tangga juga tak kalah hebat. Memang, selama beberapa waktu sebagai PNS, nampaknya masalah ekonomi keluarga masih        dapat dikendalikan. Ketika diangkat menjadi pegawai definitif, mulai ada peningkatan kesejahteraan seiring dengan kenaikan        gaji  dan tunjangan-tunjangan lainnya. Lebih-lebih setelah aku mengajukan penyesuaian gaji dengan dasar pendidikan S-1          yang  baru  kuperoleh.  Ditambah  lagi  penyesuaian  masa  kerja
dengan memasukkan separuh dari masa kerja tujuh belas tahun di Swasta dan tunjangan jabatan struktural.
Namun ketika Chris kuliah di  ITB Bandung dan tahun berikutnya anak kedua di Politeknik perguruan yang sama, kesulitan keuangan mulai terasa. Semula Chris lulus ujian  masuk  STT Telkom Bandung dan langsung mendaftar. Tetapi ketika namanya tercantum pula dalam daftar lulusan test masuk Teknik Informatika ITB, ia menarik diri dari STT sehingga nyaris uang masuk tiga juta rupiah hangus. Untunglah pada saat-saat terakhir  ada anak seorang kiayi dari Garut setuju mengadakan kompensasi. 
Christ dan Ruth  kost di tempat yang berbeda. Masing-masing harus memiliki komputer. Saat itu komputer masih langkah dan cukup mahal. Terpaksa kami harus meminjam di Bank DKI. Selesai itu mengajukan pinjaman lagi ke BNI.
Dalam keadaan normal, diperhitungkan pengicilan angsuran itu dapat berjalan lancar. Tetapi apa mau dikata. Tahun 1998 terjadi krisis moneter yang berkepanjangan. Sejumlah tunjangan pegawai tak lagi dibayarkan dengan alasan Pemda kekurangan uang.
Akibatnya, sisa pinjaman bank yang tinggal separuh, tak dapat diangsur lagi. Denda demi denda menyebabkan total utang pinjaman kembali seperti semula lagi. Sedangkan biaya kost, kuliah, uang makan, transport kedua anak di Bandung harus tetap dikirim.
Warung sembako di rumah yang semula dimaksudkan untuk menambah penghasilan keluarga, lama-lama modalnya terkuras sampai akhirnya tutup.
Upaya minta bantuan pada famili tidak semuanya berhasil. Akhirnya terpaksa meminjam dari beberapa teman sesama presbyter gereja.
Kami juga mengajukan permohonan bantuan bea siswa ke pimpinan kedua perguruan tempat study anak kami. Untuk Christ berhasil. Meski sedikit, namun agak meringankan.
Ananda Dian di SMA sudah mendapat peringatan karena   menunggak   uang  SPP   beberapa   bulan.   Kami pun
mengajukan permohonan keringanan. Untuk semua ini kami harus menyertakan Surat Pernyataan Tidak Mampu yang diketahui Ketua RT/RW. Dengan menguburkan semua perasaan-perasaan “gengsi”, kami lakukan semua itu demi masa depan anak-anak.
Semua barang-barang berharga di rumah sudah terjual. Kulkas, mesin cuci, pesawat televisi, perhiasan-perhiasan isteri, sampai-sampai cincin kawin dan cincin kenangan sewaktu dilepas pensiun oleh Pemda DKI juga sudah terjual. Tak ada lagi barang yang dapat dijual. Hanya tinggal rumah tempat kami bernaung.
Aku coba mengupayakan pinjaman di bank dengan jaminan tanah dan bangunan rumah kami. Tak berhasil karena kami baru memiliki serifikat Hak Guna Bangunan (HGB).
Kami bertanya kepada anak-anak, adakah diantara mereka ada yang secara sukarela meminta cuti sekolah untuk setahun saja. Tidak ada yang menjawab. Itu artinya semangat belajar mereka masih besar dan kami tidak tega untuk mengendurkannya. Bukankah dulu kami yang selalu menyemangati mereka untuk tekun dan belajar keras ? Sampai-sampai kami selalu memberikan hadiah bonus untuk setiap nilai mata pelajaran yang bagus.?
Karena itu langkah terakhir yang kami dapat lakukan adalah menjual rumah yang telah lebih 20 tahun kami tempati. Sesudah semua kewajiban biaya studi anak-anak dan hutang bank diselesaikan, sisanya akan kami belikan rumah tinggal sederhana di luar Jakarta. Pilihan akhirnya  di Desa Tamansari, Ciapus sekitar 8 km  sebelah selatan kota Bogor, tidak jauh dari lereng Gunung Salak

      Syukur, puji Tuhan, akhirnya Kris dapat menyelesaikan studynya di ITB, Rut di Politeknik ITB juga di Bandung dan Dian di Akademi Tarakanita Jakarta. Selain berusaha membekali anak-anak dengan pendidikan formal, pendidikan rohani juga sangat kami perhatikan. Sejak kecil kami ikutkan ke Sekolah Minggu, kegiatan remaja gereja sampai katekisasi.

Kami senang melihat nilai mata pelajaran agama Kristen dalam raport anak-anak di sekolah selalu bagus.Pendidikan katekisasi adalah wadah pendalaman isi Alkitab. Apabila sudah dinyatakan lulus oleh Sidang Majelis Jemaat, dan diteguhkan dalam Kebaktian peneguhan Sidi Jemaat, sudah dianggap sebagai jemaat  dewasa dalam iman. Sebelum peneguhan Sidi, dalam ibadah khusus itu diminta menjawab kembali beberapa pertanyaan yang menyangkut dasar-dasar iman Kristen . Kalau menjawab percaya, barulah diteguhkan. Sejak itu mereka bertanggungjawab sendiri akan dosa-dosa mereka. Bukan lagi ditanggungkan kepada orangtua.
Memang pada saat pembabtisan anak semasih kecil, setiap orangtua diwajibkan untuk selalu mendidik dan membimbing anak-anaknya dalam pengenalan akan Tuhan dan hukum-hukumNya sampai mereka dewasa dan mengaku sendiri iman percaya mereka. Bimbingan tidak saja melalui tutur kata, tetapi juga keteladanan. Itu kami lakukan diantaranya seminggu sekali kami mengadakan ibadah keluarga lalu saling mendoakan.
Meski tanggungjawab orangtua seakan-akan dibatasi hanya sampai mereka diteguhkan sidi, bimbingan orangtua tidaklah harus berakhir. Alkitab memesankan agar orangtua tidak berhenti mempercakapkan hukum Tuhan kepada anak-anak. Baik pada waktu duduk, berdiri, berbaring dan seterusnya. Jangankan kepada anak-anak, antar sesama teman-teman seiman saja wajib selalu mengingatkan firman Tuhan bila melakukan kesalahan.
Maka sungguh akan menyedihkan , apabila kelak hasil bimbingan rohani orangtua kepada anak-anak tidak menghasilkan buah-buah yang baik. Tapi bila sebaliknya adalah merupakan sukacita dan kebanggaan. Demikian pula, anak atau cucu-cucu akan merasa terhormat dan bangga bila  menjadi keturunan dari seorang yang terhormat dan baik-baik.“Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu, dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka” (Ams.17:6).


No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *