Thursday, May 17, 2018

Pasangan Hidup (5.1)


P
ada masa ini, yaitu saat koran kami Harian mpat Lima diputuskan untuk ditutup, justeru aku mulai berpikir mengenai masa depanku. Ketika tiba hari ulang tahunku tanggal 3 April 1978  aku sadar usiaku sudah genap  tigapuluh empat tahun. Sebentar lagi akan memasuki usia empat puluh tahun kalau Tuhan mengijinkan. Masalahnya apakah aku akan tetap membujang seperti ini ataukah ada niat untuk berkeluarga.
         Tentu saja aku memilih yang kedua karena   menurut Kitab Suci, manusia itu tidak baik hidup sendiri. Dia perlu mendapatkan teman hidup yang sepadan. Tetapi untuk membangun keluarga, menuntut kewajiban dan tanggung jawab. Terutama untuk mempersiapkan kehidupan anak-anak yang akan lahir kelak. Untuk itu dibutuhkan kemampuan orangtua, baik fisik, mental, ekonomi dan perencanaan.
Karena itu memilih saat usia menikah patut diperhitungkan. Tidak terlalu muda, tetapi juga tidak terlalu lanjut, sehingga pada saatnya nanti anak-anak membutuhkan biaya besar, orangtua masih mampu membiayainya. Terutama pada pendidikan tinggi. Akhirnya aku mengambil keputusan untuk melaksanakan niat ini sesegera mungkin. Kalau bisa tahun 1978 itu juga. Tapi dengan siapa ?
         Aku memang mempunyai hubungan dengan beberapa teman gadis. Tetapi hubungan itu akhirnya putus,  terbentur oleh berbagai kendala. Seorang gadis Padang teman kuliah di PTP terbentur oleh perbedaan agama. Kemudian seorang gadis Jawa kerabat isteri  kemanakanku, juga  tehalang  perbedaan agama. Lalu ada seorang gadis Batak bekas teman sekantor. Meski seiman, ia agak pencemburu dan akhirnya memilih putus. Lalu ada seorang gadis Kalimantan, asisten seorang psikolog. Tapi ia minta  aku menyelesaikan dulu pendidikan kesarjanaanku. Hal ini tak dapat kupenuhi karena kuliahku saja tak menentu. Lagi pula aku menginginkan segera menikah.
         Pada suatu hari ada seorang gadis Batak datang ke kantor berniat menyampaikan lamaran kerja. Meskipun tidak jadi diterima, namun melalui gadis ini aku sempat berkenalan dengan temannya, seorang  gadis  yang hanya menyebut namanya Ana S.D. Dari perkenalan lebih lanjut kuketahui gadis ini adalah puteri pertama seorang pensiunan dosen Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) di Ancol., mantan Nakoda asal Sangir dan Direktur Sekolah Pelayanan Menengah (SPM). Ibunya puteri seorang pelaut asal Timor dan neneknya asal Krawang. Baik ayah, ibu maupun anak-anaknya aktif di gereja.
             Dalam  hati aku merasa inilah gadis yang sepadan denganku untuk teman hidup. Keluarganya pun nampaknya dapat menerima baik kehadianku. Namun aku belum menetapkan kata akhir.
Pertama, aku belum meminta pertimbangan ibu Karena bagaimana pun aku perlu mendapatkan do’a restunya. Lebih-lebih karena beliau pernah menyarankan calon seorang gadis sekampung namun kutolak dengan halus. Alasanku masih mau melanjutkan sekolah.
       Kedua, gadis ini menurut adiknya  masih memiliki seorang kekasih. Dan yang ketiga, gadis ini menuntut bila nanti jadi menikah kami tetap tinggal bersama orangtuanya. Ia menolak kami tinggal  di rumah  sendiri yang sedang kubangun di atas kapling di Kompleks Wartawan Cipinang.
        Pembangunan Kompleks perumahan ini adalah hasil kerjasama antara PWI Jaya yang diketuai Pak Zoelhamans, Pemda DKI di bawah pimpinan Gubernur Ali Sadikin, Bank Bumi Daya dan Departemen Pekerjaan Umum. Pemda DKI menyediakan tanahnya secara cuma-cuma kepada anggota-anggota PWI Jaya, Departemen PU membangun dan BBD menyediakan dananya.
          Penolakan ini mengecewakan aku. Ketika aku selalu gagal membujuknya, aku mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan ini. Aku tidak lagi datang menemuinya.
         Namun tiba-tiba  ia muncul bersama adiknya  ke rumah kontrakanku sebab menduga aku sakit. Terus terang kukatakan sikapku. Rupanya ia tidak lagi mengajukan berbagai syarat setelah mendengar nasehat ibunya. Akhirnya semuanya berjalan baik kembali.
         Beberapa hari kemudian aku menerima telegram dari  keluarga di Uluanso, bahwa ibunda ada bersama keluarga Kak Maga di Raha, Sulawesi Tenggara. Tidak disebutkan keadaannya. Aku agak cemas apakah beliau dalam keadaan sakit sehingga perlu perawatan di sana, sebab beliau jarang bepergian jauh. Aku memutuskan segera menemui beliau. Maksud kedua memintakan pertimbangannya atas gadis pilihanku dan bila beliau menyetujui sekaligus memohon do’a restunya.
          Besoknya aku berangkat. Dan untuk tiba di Raha dari Jakarta, dalam sehari aku perlu dua kali berganti pesawat.  Dari Jakarta ke Makasar dengan Garuda, ke Kendari ganti dengan pesawat Merpati dan selanjutnya dengan pesawat kecil perintis. 
          Kondisi ibu ternyata cukup baik. Dan kata-kata Ibunda mengenai gadis pilihanku benar-benar mencerminkan seorang sifat orangtua yang bijaksana. “Kalau itu memang sudah pilihanmu dan kau anggap baik, ibu juga menyetujuinya dan ibu doakan semoga kalian nanti hidup bahagia”.
           Pulang ke Jakarta, keputusanku untuk segera menikah sudah mantap. Atas persetujuan Ibu, aku segera meminta dalam menyampaikan lamaran maupun pelaksanaan acara-acara pernikahan. Aku agak memaksakan agar  dilaksanakan pada tahun genap 1978 juga ketika aku berusia 34 tahun.
        Akhinya disepakatilah tanggal 9 Desember 1978. kesediaan Kak Narumi dan isteri untuk menjadi Waliku, baik
Sebenarnya pekerjaanku ketika itu belum begitu mantap. Ada rencana Pak Zul untuk menerbitkan Suratkabar Mingguan, tetapi belum pasti karena Surat Ijin Terbitnya belum turun. Tetapi dengan berbagai pekerjaan sambilan, aku yakin akan dapat memenuhi kebutuhan kami nanti. Aku memang menginginkan acara pernikahahan kami sederhana saja. Undangan agar dibatasi.  Aku melihat saat seperti itulah waktu yang terbaik Kalau aku masih sebagai wartawan, akan sulit bagiku untuk membatasinya.
        Ketika melamar, aku hanya menyerahkan uang  tiga ratus ribu rupiah kepada keluarga calon pengantin wanita sebagai penyelenggara. Namun aku juga menawarkan pengadaan tempat tidur pengantin lengkap dengan perlengkapan meja riasnya dan menyediakan undangan.
         Sehari sebelum pernikahan aku masih mengantar undangan dengan sepeda motor sampai ke Cibinong bahkan juga mengantar tambahan beras sekarung dengan sepeda motor ke bagian konsumsi.
          Akhirnya jadilah pemberkatan pernikahan kami  di Gereja GKI Kwitang oleh Pendeta Dr. Daud Palilu dilanjutkan dengan pencatatan di Catatan Sipil. Malamnya  resepsi di gedung Stania, Menteng.
           Atas fasilitas kak Narumi dan isteri, kami menikmati bulan madu ala kadarnya selama seminggu di Cibulan. Bahkan mereka sendiri yang mengantarkan kami ke Villa.
           Setahun kemudian, tanggal 22 Desember 1979, tepat pada Hari Ibu, di Klinik “Dian Kasih” Tanjung Priok, kami dikaruniai seorang putra yang mungil. Aku mencium isteriku, lalu sebuah vas dengan seberkas bunga yang harum, kutaruh di atas meja kecil, sebagai tanda bahagia atas kehadiran anak pertama kami ini. Kami beri nama Christian Abraham, terinspirasi nama dari  bapak segenap orang beriman, Abraham..***




 
 



No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *