Friday, May 18, 2018

Teman-temanku (1.3-1.4)

S
elain ayah, ibu,  kakak-kakakku dan  Mama  Eti, teman  sekolah dan sahabat-sahabat sepermainanku sungguh membuat masa kecilku sebagai suatu masa yang betul-betul indah  dan mengesankan. Dengan teman-temanku, aku dapat menjelajahi seluruh pelosok hutan, sungai, gunung dan lembah yang masih asri dikampung kami. Air yang memotong jalan kampung kami biasa kami minum langsung tanpa dimasak. Berasal dari hutan lindung yang diawasi ketat, sejuk dan dalam hujan selebat apapun, tak pernah banjir  dan airnya tetap jernih. Dari balik batu  yang hitam-hitam  dapat ditemukan kepiting-kepiting atau  udang. Pada air yang tenang, banyak ikan-ikan sikonui, yang dapat membuat orang dapat duduk betah berjam-jam memancing.
              Aku dan teman-temanku sering menjelajahi sungai ini sampai ke pinggir hutan untuk mencari wuku hulu, potongan teras bekas pohon damar. Benda ini berwarna kuning keemasan, keras, dan paling disenangi anak-anak seusiaku untuk membuat hule atau gasing. Gasing adalah salah satu  alat permaianan yang dapat dimainkan dengan beberapa jenis permainan. Ayah kadang-kadang pulang dari kebun dengan membawakan hule atau pololi. Namun cara memainkan pololi terbatas, hanya cukup diputar dengan tangan. Lain dengan  hule yang diputar dengan tali. Menarik dan ramai dimainkan oleh anak-anak bahkan sampai laki-laki dewasa.
            Main rotan, adalah sejenis permainan yang juga banyak digemari, baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa. Memainkannya sederhana, alatnya hanya dua potong rotan  sebesar  jari, panjang masing-masing 30 cm dan 10 cm serta sebuah lubang kecil. Hanya dibutuhkan ketrampilan memukul potongan yang pendek agar sejauh mungkin untuk menghasilkan nilai setinggi mungkin sedang pihak lawan ketrampilan menangkap  potongan rotan yang pendek setelah dipukul ke udara. Menangkap dengan satu tangan nilainya 12 dan dua tangan hanya 5. Selain itu permainan  anggota lawan juga batal, sehingga harus digantikan anggota lainnya.
         Ada banyak lagi permainan-permainan khas kampung kami yang sering dimainkan anak-anak turun-temurun. Seperti main logo, dengan alat yang terbuat  dari tempurung, main kemiri, yang mirip dengan main kelereng dengan alat dari  buah kemiri, main sampa lolako  dan main gobangan, yang menggunakan mata uang yang tak digunakan lagi.
         Belum lagi permainan-permainan yang umum seperi main bola, kasti  bahkan perang-perangan. Kami membuat senjata dari sepotong bambu bulat kecil kemudian diisi dengan peluru dari kunyit atau bahan lain  yang menimbulkan rasa gatal dari lubang bambu yang lebih besar dan kemudian disodok dengan tangkai kecil sehingga menimbulkan bunyi letusan.
            Ada kalanya kami membuat rumah-rumahan di atas pohon, memasang jerat ayam hutan atau burung tekukur, mandi-mandi  di sungai besar yang ada pusaran airnya atau mencari ikan di sungai-sungai berawa. Kami sering pula  menjelahi hutan mencari rotan atau buah-buahan dengan berjalan kaki atau membawa kerbau sebagai tunggangan kami. Durian, mangga, rambutan, nanaka,  bokoto, namo,  ruomo,  wua ahi,             hanya  ada  di  tempat-tempat tertentu dan setiap  kami sudah mengetahuinya. Kami jadi tahu semua jenis pohon-pohon yang buah atau daunnya dapat dimakan, mana yang berkhasiat  obat, mana yang disukai hewan ternak, mana yang beracun bahkan tak boleh disentuh. Kami juga sering  mengunjungi dan bermain-main dengan dampa  di Sosopa. Dampa ini dibangun diatas aliran sungai air panas, terdiri dari pagar berkeliling dan pada muaranya di buatkan pintu gantung yang besar dan berat dan kemudian disambungkan dengan tali ketengah-tengahnya berupa jebakan. Kawanan kerbau liar sangat  suka mandi-mandi ke tempat ini.  Dan kalau sudah masuk dan menyentuh tali  jebakan, pintu seberat 1-2 ton itu  akan tertutup.
            Pokoknya, tiada hari yang kosong tanpa kesibukan permainan. Adakalanya orangtua harus mencari kami karena lama belum tiba dirumah. Pernah kami dimarahi karena membuat jebakan dari batang pohon besar  dan jebakan bermata bambu runcing  yang kami pasang  di jalan yang juga sering dilalui orang.
            Bahkan pernah aku dengan beberapa teman dihukum berdiri dengan kaki sebelah  berjam-jam di depan kelas karena ada  warga yang melaporkan kami telah menginjak-injak  padi ketika kami melalui kebunnya.
           Penjelajahan kami, tidak saja  di hutan, di kali, di gunung  dan dilembah, tetapi juga bangunan-bangunan yang penuh misteri, termasuk loteng rumah-rumah orangtua kami. Loteng rumah-rumah orangtua kami yang besar-besar, konon sering dijadikan tempat penyimpanan barang-barang  antik, dan kami  ingin tahu dan melihat sendiri. Penjelajahan itu kami lakukan karena kecuali hari minggu, penduduk semuanya tinggal di rumah kebun. Nah, sepulang dari sekolah  dan makan bekal kami di rumah salah seorang  dari kami, dengan panduan anak          pemilik rumah kami naik ke loteng mengadakan penjelajahan. Aku  ingat,  di loteng rumah kami  aku pernah  melihat  alat permainan kecapi kuno, pedang dengan rambut pada ujung gagangnya, tombak, perisai dan sekotak perhiasan manik-manik, gelang tangan dan gelang kaki. Ibuku pada masa mudanya pintar menari dan  beliau sampai akhir hayatnya tetap menyimpan selendangnya.
Kami tak berani mengambil benda-benda itu karena ketika itu dianggap keramat.
          Loteng rumah Luma juga kami jelajahi. Ayah teman ini   paling disegani di kampung kami sebagai ketua adat  dan sesepuh kepala kampung. Kami tak menemukan sesuatu yang  luar biasa. Lain dengan ketika Rusia mengajak kami menjelajah loteng rumahnya. Kami terkejut ketakutan dan bergegas turun karena dalam keremangan, kami menemukan  peti mati seperti yang kami biasa lihat diusung ke pemakaman. Kakek teman ini tidak lain adalah pamanku sendiri, kakak kedua ayahku dari delapan bersaudara.        
             Pengalaman ini membuatku trauma. Pernah berhari-hari aku tidak berani melalui jalan yang  biasa kulalui ketika pulang sekolah, karena dekat pinggir jalan ada  sesuatu yang tersandar di pohon seperti peti mati. Ternyata kemudian hanya balok besar untuk tiang rumah.
             Pada hari-hari tertentu,  kami mengembala kerbau  masing-masing. Kami harus menjaga agar tidak membawa kerbau  yang saling bermusuhan.
            Selain kerbau, ayah mempunyai kuda dua ekor. Kuda kami jinak. Tapi aku  takut mendekati mereka  takut melihat giginya yang besar-besar. Kalau berjalan cenderung lari. Aku pernah disuruh menuntunnya dengan tali dimuka. Makin aku coba menjaga jarak, makin ia mendekat. Aku menengok kebelakang, moncongnya  yang besar sudah di atas kepalaku   dan seperti akan menginjak-injak aku dengan kuku keempat kakinya yang tajam-tajam. Aku segera menghindar ke samping dan melepaskan
talinya. Ayah  hanya kecut dan rupanya ia mengerti karena  setelah itu ia tak ernah lagi menugaskan merawat kuda-kudanya.
             Apalagi kedua kuda ayah suka berkelahi dan kejar-mengejar dengan kuda lain. Terdengar bunyi gemuruh ketika melanggar semak pepohonan, sepak-menyepak dan gigit-menggigit dengan  ringkikan memekak telinga.***

1.4.   Di sekolah

A
ku ingat ketika hari pertama aku akan masuk sekolah. Kakak-kakakku memakaikan aku baju baru, baju putih dengan celana gantung warna abu-abu motif garis-garis halus.
            Sekolah kami hanya sampai kelas tiga. Guru hanya satu orang, sekali mengajar dua kelas. Kelas satu hanya  sampai jam sepuluh dan sesudah itu disambung kelas dua. Kelas tiga dari pagi sampai jam satu.  Aku ingat bagaimana guru kami Bapak Mandake, pertama-tama mengajar kami berhitung dengan menggunakan kait-kait yang digantung di papan tulis. Kami  juga diwajibkan senantiasa membawa potongan-potongan  lidi sepanjang 15 cm yang dimasukan dalam tabung  bambu untuk alat berhitung.
            Ia mengajar kami membaca dan menulis. Aku ingat ketika ia memperkenalkan huruf “U” yang disebutkannya sebagai “topi yang  berkaki di langit”. Aku  agak kesulitan mengikuti pelajaran. Ketika buku-buku bacaan dikeluarkan   dari lemari dan dibagikan    untuk dibaca, aku merasa buta sama sekali.  Aku  lebih  tertarik  melihat  gambar-gambar.

Namun aku juga tak dapat menggambar  dengan baik. Kami  masing-masing diberi batu tulis dan kalam batu untuk menulis dan menggambar.  Diatas  batu tulis itu kami dapat menulis atau menggambar   dan   dapat dihapus dengan air untuk digunakan kembali. Untuk itu setiap ke sekolah  kami diharuskan membawa air dalam botol kecil. Beberapa dari kami menambahkan gula merah sehingga dapat pula diminum.
      Pada jam pelajaran menggambar bebas, aku kagum bagaimana temanku, Linto, dapat  mengambar kucing begitu bagus.
         Pada jam belajar menyanyi,  murid-murid seluruh kelas digabungkan. Kami dibiasakan mengikuti not-not  empat nada   di papan tulis. Umumnya lagu rohani, lagu anak-anak dan lagu kebangsaan. Dari buku Nyanyian Rohani sebanyak seratus nomor hampir seluruhnya  dapat kami nyanyikan.    
         Pada waktu-waktu tertentu kami disuruh maju menyanyi sendiri-sendiri di depan kelas. Murid yang malu atau tidak bisa menyanyi dihukum berdiri dibalik papan tulis sampai pelajaran selesai.
        Setiap selesai satu pelajaran, kami keluar istrahat selama sekitar satu jam. Menurut istilah sekolah kami, “bersenang”. Kami  memang menyenangi kesempatan itu. Kami menggunakannya untuk bermain atau makan siang dari bekal  yang kami bawa  dari rumah.
       Disiplin, kesehatan dan kebersihan sangat diperhatikan. Sebelum masuk sekolah, setiap murid berkumpul diujung kampung dan kemudian berbaris  sambil menyanyi menuju sekolah. Di depan sekolah, kami berbaris melebar, mengangkat kedua punggung telapak tangan untuk diperiksa kebersihan kuku-kuku kami. Guru  memeriksa dengan teliti satu persatu sambil memegang penggaris kayu. Bila menemukan murid yang ujung kuku
jarinya hitam, jari itu akan dipukul dengan penggaris. Kadang-kadang juga ia memeriksa leher kami. Ia akan menyuruh  kami turun ke kali dekat  sekolah untuk membersihkan bila dileher kami ada daki.
         Rambut murid laki-laki tidak boleh panjang. Guru senantiasa menyediakan gunting. Bila rambut kami kedapatan panjang pada waktu  apel, akan digunting. Biasanya dari  depan ke belakang, dari kiri ke kanan lalu melingkar  dari   telinga ke telinga sehingga membentuk seperti perampatan jalan. Orangtua atau kakak-kakak kami biasanya hanya geli menertawakan ketika kami pulang. Mau tidak mau mereka  akan mengunduli kami. Tak pernah ada yang protes.
           Pada hari-hari tertentu kami mengadakan senam taiso, yang dipandu seorang murid senior. Biasanya  oleh Kalinda, yang juga kakak sepupuku. Ia seorang yang berwibawa. Ia pernah menemukan parang tertancap di lapangan sehingga melukainya. Ujung kakinya berdarah. Ia mencabutnya lalu melemparkannya jauh-jauh ke kali. Ia juga adalah pemimpin  musik bambu sekolah kami. Ia juga pernah menjadi pemeran utama  dalam  sandiwara lapangan penyalipan Kristus. 
           Setiap hari Sabtu guru menyuruh kami membawa seikat daun amplas yang  banyak terdapat di pinggir-pinggir sungai. Semua bangku dan meja sampai mimbar dan bingkai batu tulis kami kami  gosok  sehingga selalu nampak seperti baru. Pada hari-hari tertentu kami juga disuruh  membawa parang untuk memaras  lapangan rumput sekolah yang sangat luas.
           Tiga kali setahun kami menerima raport dan harus dikembalikan lagi ke sekolah setelah ditandatangani               orangtua atau  wali. Selalu timbul masalah karena                   orangtua  dan kedua  kakak  perempuanku  merasa enggan menanda-tanganinya. Padahal ayah sudah pernah mengikuti kursus PBH dan kedua kakakku sudah tamat kelas tiga. Untung ada warga yang selalu berbaik hati untuk kami mintai bantuannya menan-datanganinya.
            Pak Mandake, guru kami, sangat perhatian dengan muridnya. Aku dua kali  terkena bisul kulit yang  membesar di paha sehingga lumpuh sama sekali. Aku terpaksa  tidak dapat  mengikuti pelajaran sehingga dua kali pula tidak dapat naik kelas. Dua kali tidak naik kelas dua. Suatu hari Pak Guru datang ke rumah menanyakan aku dengan memegang parang. Aku takut, kukira dia dalam keadaan marah. Rupanya ia baru datang  dari kebun dan ibu memberitahukan aku masih sakit. ***





 

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *