Friday, November 21, 2014

MENGATASI BENTROK OKNUM TNI-POLRI



Dalam perkembangan sejarah TNI dan Kepolisian RI, kerjasama antara kedua institusi ini cukup sering kita saksikan dan baca melalui siaran media massa. Seperti misalnya dalam melaksanakan penertiban PKL, pembebasan tanah negara yang diduduki secara liar dan unjuk rasa massa seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Ketika satuan-satuan Satpol PP yang dibantu Polri dalam keadaan kepepet maka datanglah satuan-satuan TNI mem-backup. Suatu penampilan yang patut diapresiasi.

Tahun 60-an Polri digabungkan dengan TNI dalam institusi Angkatan Bersenjata RI (ABRI). Tapi pada masa kepemimpinan Kepolisian dibawah Jendral Polisi Hugeng Imam Santoso, POLRI dipisahkan kembali menjadi institusi tersendiri di bawah Presiden. “I am not a Commander any more, I am just a Police in Chief”, penegasan Hugeng pada suatu saat kepada para wartawan.

Mengapa Polri dahulu digabungkan dengan TNI kemudian dipisahkan lagi ? Sebab penggabungan : pertama,  untuk kepentingan politik, guna menyatukan semua potensi bersenjata. Karena ketika itu Indonesia masih terus dibayang-bayangi konfrontasi dengan Belanda sehubungan dengan pembebasan Irian Barat. Pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan juga belum dapat dituntaskan. Lalu konfrontasi dengan Malaysia yang didukung Inggeris dan sekutunya. Dan kemudian terjadi peristiwa G.30.S/PKI. Kedua, menghentikan adanya persaingan antar institusi bersenjata, khususnya antara TNI dan Polri.

Pada tahun 50-an dalam institusi Polisi Negara RI telah dikenal adanya Mobrig (Mobil Brigade) berseragam hijau dengan persenjataan prajurit mereka rata-rata sudah serba otomatis. Sedangkan persenjataan prajurit TNI  rata-rata masih memegang senjata panjang carbine jenis LE yang magazinenya hanya berisi 5 peluru. Dan penembakannyapun belum otomatis. Dengan demikian kemampuan tempur Mobrig dianggap lebih unggul.

Selain Mobrig, yang titik berat tugas mereka menghadapi kelompok-kelompok pengacau bersenjata, dalam institusi Polisi Negara ada lagi pasukan Perintis sebagai satuan tempur. Sebagai satuan siap tempur mereka juga dilengkapi helm anti peluru, namun pakaian seragam mereka tetap sama seperti seragam polisi biasa, hanya saja persenjataan standar anggotanya masih senjata laras panjang seperti pada TNI.

Dalam perkembangan berikutnya Mobrig berubah nama menjadi  Brigade Mobil (Brimob) hingga sekarang. Kemudian, pada tahun 70-an di bawah Kombes Anton Sudjarwo dibentuklah pasukan khusus Resimen Pelopor dengan seragam loreng, yang diseleksi ketat dari  lingkungan Brimob.

Sementara itu di kalangan TNI sudah terbentuk pula satuan-satuan khusus klasifikasi Komando. Seperti Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASUS), Korps Komando Angkatan Laut (KKO, sekarang Marinir) dan Komando Pasukan Gerak Tjepat (PGT-AURI, sekarang PASKHAS).

Pada saat yang sama, di lapangan kerap terjadi insiden-insiden sampai tembak-menembak. Di Poso tahun 60-an pernah Asrama Polisi depan Gedung Bioskop Nirmala dikepung sepasukan TNI. Konon, pernah pula terjadi bentrokan bersenjata satuan-satuan Mobrig dan AD di Ambon. Sampai-sampai Komandan Kapal Perang Angkatan Laut yang diberi kuasa oleh pimpinan TNI di Jakarta melerai, mengultimatum kedua satuan yang bertikai itu. Apabila tidak bersedia mengundurkan diri, kota Ambon akan dibombardir dari laut.

Untuk menghentikan insiden-insiden yang sama, maka keempat institusi bersenjata itu kemudian digabungkan menjadi satu dalam institusi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dipimpin seorang Panglima ABRI di bawah langsung Presiden/Panglima Tertinggi ABRI.

Pada perkembangan berikutnya, timbul banyak ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja Kepolisian. Banyak pengamat menyimpulkan, hal itu disebabkan antara lain karena keberadaannya dalam ABRI. Ini menyebabkan Polri tidak leluasa untuk mengembangkan diri. Diantaranya karena porsi anggaran yang terbatas dan harus berbagi dengan Angkatan lainnya.

Maka kemudian Polri pun dipisahkan menjadi institusi mandiri kembali. Kalau tahun 50-an berada di bawah Kementerian Dalam Negeri, maka sekarang langsung di bawah Presiden. Sedangkan AD, AL dan AU kembali lagi menjadi TNI dipimpin seorang Panglima TNI yang membawahi para Kepala Staf AD, AL dan AU.

Seiring dengan itu, berkembang tuntutan agar TNI mereformasi diri. Kalau kepada mahasiswa waktu itu dituntut untuk “back to campus”  daripada demonstrasi melulu, maka TNI dituntut untuk “back to barrack”. Maka ketika itu dilaksanakan, doktrin Dwi Fungsi ABRI, mau tak mau juga harus ditinggalkan, karena Fungsi Karya-nya dihapuskan. Para anggota TNI aktif harus keluar dari semua jabatan institusi sipil, termasuk penghapusan Fraksi TNI\Polri dari MPR/DPR. Akibatnya TNI seolah terputus dari kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.

Kesejahteraan anggota TNI hanya bergantung pada APBN. Mereka tak boleh lagi melakukan kegiatan-kegiatan “bisnis” lainnya secara legal di tengah-tengah masyarakat untuk menambah kesejahteraan mereka. Dibandingkan dengan rekan-rekan mereka dari Kepolisian yang masih tetap di tengah-tengah masyarakat, kesejahetraan para prajurit TNI agak ketinggalan. Untuk menutup ketertinggalan itu ternyata ada oknum-oknum TNI yang secara diam-diam melakukan kegiatan-kegiatan sampingan. Disamping yang positif, ada pula yang terlibat kegiatan ilegal seperti menjadi backing  para penyelundup bahan bakar bersubsidi.

Nah, ketika Kepolisian berupaya memberantas usaha-usaha ilegal itu, maka mereka terpaksa harus berhadapan dengan oknum-oknum backing itu. Sering terjadi para oknum ini melibatkan pula institusinya. Dan dengan alasan solidaritas korps, anggota-anggota lainnya langsung melakukan aksi “pembalasan” tanpa menyelidik dulu apa latar-belakangnya.

Lalu bagaimana upaya untuk pencegahan ? Disamping untuk jangka panjang memperbaiki keesejahteraa prajurit TNI dan melakukan kegiatan-kegiatan sosial persahabatan bersama, seperti yang sudah banyak dilakukan, agaknya dapat pula dilakukan mutasi kesatuan secara keseluruhan.

Dalam kasus di Batam, untuk Polri agaknya agak sulit karena keterkaitan erat antara organisasi Kepolisan Daerah dengan Pemerintah Daerah. Sedangkan kesatuan TNI, organisasinya relatif lebih mobil, lebih mudah melakukan mutasi antar kesatuan. Maka dari itu, apabila mungkin kesatuan TNI di Batam sekarang dimutasikan seluruhnya dan digantikan dengan kesatuan Divisi lain dari luar Batam. Atau paling tidak, batalion yang sekarang digantikan oleh batalion lain dari divisi yang sama.

Hal ini belajar dari pengalaman di Poso, ketika satuan-satuan TNI dari BN.502 Brawijaya berbuat blunder disana yang membuat rakyat marah.Mereka segera digantikan BN 508 dari divisi yang sama dan kemudian digantikan lagi oleh BN.604 Tanjungpura dari Kalimantan.

Disamping itu, pihak Polri di manapun perlu senantiasa mempunyai hubungan kerjasama yang baik dengan institusi TNI di daerah. Apabila dalam suatu operasi diperkirakan ada keterlibatan oknum aparat, agar mengikutsertakan personil Polisi Miiter. ***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *