Friday, November 28, 2014

Agama Dalam KTP Ada atau Kosong ?



 Setelah pimpinan Kementerian Dalam Negeri dipegang Tjahjo Kumolo, program e-KTP dihentikan sementara  guna dilakukan evaluasi kembali.
Hal ini dianggap penting dengan adanya sejumlah temuan, seperti KTP ganda, ketidaksesuaian  data dalam KTP seperti foto dan jenis kelamin, serta adanya sejumlah pejabat yang terkait dalam pencetakan KTP tsb. ditangkap KPK atas dugaan  korupsi.
Dalam proses evaluasi itu mencuat wacana untuk menghilangkan atau tidak kolom agama. Kalau tetap ada, bagaimana pengisiannya bagi penganut kepercayaan di luar 6 agama yang telah diakui pemerintah. Apakah boleh diisi sebagaimana adanya termasuk agama-agama suku, ditulis Ketuhanan YME , ataukah dapat dibiarkan kosong.
Mengapa sampai timbul pro kontra ? Bagi yang menghendaki tetap ada kolom agama, menganggap itu adalah menyangkut hak azasi warga negara, sejak dahulu sudah selalu ada di KTP. Kalau tidak ada kolom agama, apabila misalnya terjadi musibah jauh dari keluarga, bagamana cara pelayanan pemakaman dilakukan karena agamanya tidak jelas.
Bagi yang menyarankan agar kolom agama ditiadakan beralasan, masalah agama adalah masalah individual tiap orang sehingga tak harus diurus negara. Disamping itu masalah agama sering kali pula menjadi sumber pertikaian, khususnya bagi mereka yang belum tolerant terhadap penganut agama minoritas  atau penganut aliran kepercayaan. Sikap tidak tolerant itu biasanya diekspresikan dengan tindakan-tindakan anarkis seperti mengadakan sweeping KTP yang berujung pada tindak kekerasan.
Alasan terakhir ini sebetulnya tidak perlu terjadi dan dapat dicegah bila alat negara cukup tegas dan berani bertindak terhadap orang-orang yang  bertindak di luar hukum tersebut.
Yang berpendapat sebaiknya kolom agama dikosongkan saja khusus bagi  penganut di luar 6 agama yang resmi, khawatir kolom itu akan diisi dengan macam-macam aliran kepercayaan yang mereka tidak sukai. Sebab, itu berarti negara secara tidak langsung telah mengakui eksitensi mereka.
Kalau kita perhatikan, Undang-Undang Dasar 1945 pada ayat-ayat pasal 29 tentang agama, di sana disebut “Ketuhanan yang maha esa“(ayat 1) serta “agama dan kepercayaannya”(ayat 2). Sedang dalam rumusan Pancasila pada Pembukaan (Preambule), di sana justru tidak ada kata agama.
Yang tercantum adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berarti ada pengakuan adanya “agama” dan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam pengertian luas, dalam kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bisa berarti termasuk juga ke enam agama yang diakui Pemerintah. Tetapi dalam pengertian khusus dapat pula berarti aliran kepercayaan yang beragam, yang nyatanya hingga kini tetap  eksis dalam  mayarakat tradisional.
Maka apabila kolom agama tetap dibiarkan ada, alternatif pengisiannya  bisa memilih salah satu : agama yang dianut, atau Ketuhanan YME.
Dalam pilihan kedua ini dapat diartikan mencakup seluruh agama-agama suku/kepercayaan yang tidak termasuk keenam agama yang telah diakui Negara. Dan mereka yang dimaksud terakhir ini mestinya dapat menerimanya bila eksistensi mereka ingin tetap dapat diakomodir.
Di lingkungan agama Kristen Protestan misalnya, terdapat aliran-aliran pemahaman yang agak berbeda seperti Pantekosta, Sidang Allah, Bethel dll. Disamping itu ada lagi aliran-aliran kharismatik seperti Mawar Sharon, Bethani dll tetapi dalam badan hukum mereka bersatu dalam nama Bethel.  Meski berbeda-beda, namum dalam KTP semuanya menulis seragam “Kristen Protestan”.***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *