Friday, October 3, 2014

UU MD3 PEMBAWA PETAKA



Mengapa terjadi kekacauan  dalam sidang pleno  DPR tanggal 25-26 September 2014 yang lalu ? Kalau diruntut, awalnya adalah pada pengesahan UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang dilakukan sebelumnya.


     Berdasarkan UU MD3 itu kemudian dibuatlah Tata Tertib persidangan paripurna, naiklah Ketua Sidang dari anggota tertua dan termuda, yang dua-duanya dari satu kubu, kubu Koalisi Merah Putih (KMP) yang berseberangan dengan kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIB).


      Penetapan Ketua sidang yang tertua dan termuda ini agaknya bukanlah kebetulan. Karena finalisasi RUU Pilkada tidak langsung  memang dibuat setelah nama-nama dan data anggota DPR yang baru diketahui, dan segera setelah keluar Keputusan MK tentang Pilpres yang memenangkan kubu KIB.


      Pencantuman ketentuan dalam draft RUU bahwa yang berhak mengajukan calon Ketua DPR minimal harus 5 fraksi, juga bukan kebetulan. Agaknya memang disengaja karena waktu itu dalam kubu KMP sudah ada 5 parpol yang telah mengikatkan diri sebagai “koalisi permanen”. Sedang pada saat yang sama kubu saingannya,  kubu KIB baru terdiri dari 4 parpol.


      Lalu, dalam pengajuan calon pimpinan, yang terdiri dari 5 calon untuk Ketua dan 4 Wakil Ketua, direkayasa dalam bentuk paket dan yang mengajukan harus oleh fraksi dan bukan anggota. Hal ini menutup kesempatan bagi para anggota yang mungkin berbeda pilihan menurut hati nuraninya.


     Luapan kekecewaan itu agaknya meledak ketika pada sidang paripurna tanggal 25-26 September 2014 itu. Sejumlah besar anggota DPR dari kubu KIB merangsek sampai ke panggung pimpinan sidang. Mereka memprotes karena permintaan mereka untuk berbicara diabaikan begitu saja oleh pimpinan sidang yang dua-duanya berasal dari kubu KMP itu.


      Ketika akan bicara dari tempat duduk mereka, mikrofon  dimatikan. Terpaksalah mereka berdiri maju ke meja pimpinan memprotes. Bagi mereka yang kurang mengetahui penyebabnya, akan terkesan anggota-anggota DPR yang maju itulah yang membuat kekacauan, padahal mereka sesungguhnya menjadi korban kesewenang-wenangan. Bagaimana Anda bisa duduk manis bila hak-hak Anda dirampas ?


   Padahal  Pasal 260 Tata Tertib persidangan DPR, mengharuskan Ketua Rapat memberi kesempatan kepada setiap anggota rapat yang melakukan interupsi untuk:


a.   meminta penjelasan tentang duduk persoalan sebenarnya mengenai masalah yang sedang dibicarakan;

b.   menjelaskan soal yang di dalam pembicaraan menyangkut diri dan/atau tugasnya;

c.    mengajukan usul prosedur mengenai soal yang sedang dibicarakan; atau

d.   mengajukan usul agar rapat ditunda untuk sementara.

          Perampasan hak inilah juga yang membuat rakyat akhir-akhir ini meradang ketika hak mereka untuk memilih sendiri para pemimpin mereka  direnggut melalui UU Pilkada tidak langsung. 

     Sangat mengherankan Mahkamah Konstitusi tidak memberi perhatian atas pasal-pasal  yang melanggar asas keadilan ketika melakukan judicial reviu atas UU MD3 yang lalu. Lalu, mengapa para pemrotes pada Sidang paripurna DPR tgl 25-26 September 2014 yang kacau itu, - tidak melakukan gugatan atas pengabaian hak berbicara mereka yang dijamin dalam Pasal 80 huruf b dan c. UU MD3 dan Peraturan tata tertib persidangan DPR tersebut di atas. ***



 

 

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *